Setelah Nabi Ibrahim AS bersama rombongan pergi ke Mesir bertemu
Firaun Akhtoy III dari dinasti ke sepuluh pada tahun 2.085 SM, rupanya makin
banyak orang dari kawasan Israel, semit barat, dan sekitarnya, yang berdatangan
dan hidup di Mesir. Mesir menjadi pilihan, karena kecukupan air dan kemakmuran,
berbalik kondisinya dengan Semit Barat yang sedang mengalami kekeringan dan kelaparan.
Setelah bertahun-tahun hidup di Mesir, mereka mulai diterima oleh masyarakat
setempat. Wajar, jika akhirnya pada sekitar tahun 1.850 SM, Nabi Yusuf AS,
sebagai rakyat pendatang, berhasil memperoleh kepercayaan sebagai salah satu pejabat
Mesir dinasti kedua belas, oleh Firaun Senusret I, II atau III, yang bertempat
di ibu kota kerajaan Itj-taway.
Selain rombongan Nabi Ibrahim AS, yang disebut sebagai bangsa
Ibrani, pendatang dari utara, Semit Barat, yang juga mendapat kepercayaan dan
hidup di Mesir adalah bangsa Hyksos. Namun sayang, orang-orang ini menjadi
makin berambisi, dan akhirnya membangun dinasti sendiri, yaitu dinasti kelima
belas, berpusat di kota Avaris. Ambisi Hyksos berlanjut dengan penaklukan dinasti
ketiga belas dan keempat belas, bahkan menghancurkan ibu kota Mesir Itj-taway
(1.663 SM).
Sekitar seabad berikutnya, Firaun Ahmose dari dinasti kedelapan
belas berhasil mengusir orang Hyksos. Dan mungkin karena kemarahan akibat sakit
hati kepada orang Hyksos, akhirnya Firaun Mesir bergerak menuju Kawasan Israel hingga
ke Aleppo, dan menaklukannya. Inilah penaklukan Firaun yang pertama di luar kawasannya
sendiri.
Kisah pengkhianatan Hyksos sangat melukai bangsa Mesir. Dan mungkin
karena luka yang menyakitkan ini, bangsa Mesir membenci bangsa Ibrani yang juga
pendatang dari utara. Bangsa Ibrani dijadikan budak dan kerja paksa tanpa belas
kasihan. Anak-anak laki Ibrani di bunuh. Kecuali bayi Musa yang selamat dari
pembunuhan, justru hidup dalam lingkungan istana. Sampai akhirnya, pada tahun 1.446
SM, bertepatan dengan pemerintahan Firaun Tuthmoses III, atau anaknya Amanhotep
II[1],
Nabi Musa AS beserta kaumnya, bangsa Ibrani melakukan eksodus keluar dari
Mesir.
Terlepas dari narasi kitab suci agama, ahli sejarah menyatakan, dinasti ke delapan belas (1.570 – 1.293 SM), adalah dinasti paling sejahtera, bahkan bisa dibilang paling sukses karena, salah satunya, kekuasaan telah membentang sangat luas sampai Aleppo.
NABI AYYUB AS (1.540 – 1.420 SM) & DZULKIFLI AS (1.500 – 1.425
SM)
Nabi Ayyub AS adalah Ayyub bin Maush bin Razih bin Aish bin Ishaq AS. Ayyub AS termasuk bangsa Romawi, yang turun dari moyang Aish bin Ishaq AS. Istrinya adalah Liya binti Yusuf AS. Ayyub AS hidup kaya raya, memiliki harta yang banyak di daerah Hauran, dikelilingi oleh anak dan keluarga besar yang Bahagia.
Namun pada suatu saat, semua
nikmat tersebut di ambil oleh-Nya. Di uji dengan penyakit, hingga tidak tersisa
tubuhnya kecuali tulang otot, hati dan lidahnya yang selalu berdzikir kepada
Allah SWT. Karena penyakitnya, Ayyub AS dibuang oleh masyarakat ke lokasi
pembuangan sampah yang jauh dari kampung. Tidak ada yang menemani kecuali
istrinya yang setia. Karena tidak ada lagi harta untuk makan, akhirnya sang
istri menjual rambut untuk di tukar dengan makanan.
Melihat pengorbanan istri, Ayyub
AS berdoa untuk diberikan kesembuhan. Dan Allah SWT mengabulkan doanya,
diberikan kesembuhan dan dikembalikan kekayaan dan keluarganya. Ayyub AS
menderita penyakit selama tiga tahun, ada pula yang mengatakan tujuh bahkan 18
tahun.
Setelah kesembuhannya, Ayyub AS
hidup dan berdakwah kepada bangsa (kaum) Rum atau Aramia (Aramic) dan Amoria
(Amorities), di daerah Batsinah dan Hauran Damaskus hingga usia 93 tahun dan
memiliki 26 anak. Sepeninggalnya, risalah kenabian dilanjutkan oleh salah-satu
putranya, yaitu Bisyr bin Ayyub AS, yang diyakini sebagai Nabi Dzulkifli AS.
Namun sebagian ulama menyatakan,
Dzulkifli adalah orang sholeh bukan Nabi, namun pendapat yang lebih kuat dan
mengacu kepada tafsir Al-Quran, Dzulkifli adalah seorang nabi. Sebagian ulama
menyatakan Dzulfikli AS adalah penerus Ilyasa AS, meskipun cerita ini bias,
karena jarak waktu keduanya cukup jauh. Dzulkifli AS dikenal sebagai nabi yang
sangat sholeh, waktunya dihabiskan untuk mengabdi dan menyembah Allah SWT. Nabi
wafat pada usia sekitar 75 tahun.
Selama masa kehidupan kedua nabi sekitar 1.500 SM, Damaskus dalam kekuasaan Mesir, dinasti ke delapan belas, dengan nama Firaun Tuthmosis III (1.483 – 1.450 SM). Namun demikian, cengkeraman Tuthmosis III di Kawasan Damaskus sepertinya tidak terlalu kuat, karena dinamika peperangan di internal Kawasan Mesir masih cukup keras. Tuthmosis III bukan keturunan Firaun yang mengaku berdarah Tuhan, dia mengaku dirinya sebagai raja dari rakyat biasa. Dengan kondisi demikian, mungkin Nabi Ayyub dan Nabi Dzulkifli tidak berhadapan langsung atau melawan raja, namun berhadapan dengan kaum dan rakyat biasa.
NABI MUSA AS (1.527 – 1.407 SM), HARUN AS (1.531 – 1.408 SM),
YUSYA dan KHIDHIR
Beliau adalah Musa bin Imran bin Qahits bin Ázir bin Lawi bin Ya`qub AS. Musa AS bertubuh besar, kulit sawo matang dan rambut keriting. Menjelang masa kelahirannya, berita tersebar, akan lahir pemimpin Bani Israil. Dengan berita tersebut, Firaun memutuskan untuk membunuh semua bayi lelaki. Namun karena jumlah penduduk Bani Israil makin menyusut, Firaun mengubah aturan, jika tahun ini semua bayi laki-laki di bunuh, tahun berikutnya dibiarkan hidup. Musa AS lahir di saat bayi di bunuh, sedangkan saudaranya, Harun AS lahir saat tahun bebas melahirkan.
Saat melahirkan, sang Ibu, yaitu
Ayarukha atau Ayadzikhat, menempatkan Musa kecil dalam kotak dan membuangnya ke
sungai. Bayi ditemukan oleh Durbatah, putri salah satu pejabat kerajaan,
kemudian di bawa kepada ibunya yang tidak lain istri pejabat tersebut, yang
bernama Asiyah binti Muzahim bin Ubaid bin a-Rayyan bin Walid. Sebagian ulama
berpendapat, ar-Rayyan bin Walid hidup semasa Yusuf AS. Karena butuh seorang
wanita untuk menyusui, akhirnya keluarga tersebut mencari wanita yang dapat
menyusui Musa kecil. Akhirnya, ibunya sendiri, tanpa diketahui keluarga, yang
mendapat tugas menyusui.
Seperti dijelaskan pada bagian atas, Nabi Musa AS mungkin hidup pada
periode dinasti ke delapan belas. Pada tahun kelahirannya, 1.527 SM, pemerintahaan
Mesir dikuasai oleh putra Firaun Ahmose I, yaitu Firaun Amanhotep I. Kemungkinan
bayi Musa tinggal di lingkungan istana yang berada di pusat pemerintahaan,
yaitu kota Thebes, Mesir bagian selatan. Karena Firaun Amanhotep I tidak punya
anak laki-laki, sepeninggalnya, kerajaan diwarisi oleh jenderal kepercayaannya,
yaitu Tuthmosis I. Selanjutnya diteruskan oleh Tuthmosis II dan III (1.483-1.450
SM). Firaun Tuthmosis III adalah Firaun paling sukses, karena kerajaanya
membentang terluas sampai ke Aleppo. Setelah Tuthmosis III, kerajaan Mesir di
kuasai oleh Firaun Amanhotep II, yaitu Firaun yang berhadapan dengan Musa AS saat
melakukan eksodus menyeberangi lautan.
Ketika Musa sudah dewasa, suatu
saat pergi ke kota Memphis, Mesir Utara. Di kota tsb bertemu dua orang, satu
dari Bani Israil, dan lainnya bangsa Qibthi Mesir, yang sedang berkelahi[2].
Musa remaja membela orang Bani Israil dan memukul lawannya, sampai mati. Untuk
menghindari hukuman, Musa remaja pergi meninggalkan Mesir menuju Madyan.
Firaun yang berkuasa saat itu, sekitar 1.430 SM, adalah Tuthmosis
III.
Dalam perjalanan ke Madyan, Musa AS
membantu dua wanita yang ingin memberi minum hewan gembalanya. Ketika Musa AS
sampai di suatu tempat dalam kondisi sangat lapar, wanita tersebut mengajaknya
bertemu dengan ayahnya, dan akhirnya Musa AS di bantu. Orang tua tersebut adalah
Nabi Syuaib AS. Akhirnya Musa AS di jodohkan dengan putri Syuaib AS setelah
bekerja kepadanya selama delapan atau sepuluh tahun.
Setelah merasa cukup waktu di
Madyan, Musa AS bersama istri dan hewan piaraan meninggalkan Madyan, kembali
menuju Mesir. Ketika sampai di lembah Thuwa, Musa AS mendapat seruan Tuhan dan menerima mukjizat tongkat ular. Mukjizat
tersebut adalah satu diantara sembilan mukjizat yang dimiliki Musa AS. Pada
kesempatan tersebut, Musa AS sekaligus mendapat perintah untuk menghadapi
Firaun, dan Tuhan menjanjikan Nabi Harun AS sebagai pembantunya.
Keduanya, bersama para pemuka
Bani Israil berangkat ingin menemui Firaun[3],
namun diterima sekitar dua tahun setelahnya. Pada pertemuan dengan Firaun,
disepakati untuk menggelar ajang kekuatan. Firaun menyiapkan sekitar 70.000
atau 80.000 penyihir terkuatnya untuk menghadapi Musa AS. Namun Musa AS menang
dalam pertunjukan tersebut, dan akhirnya para penyihir beriman dan mengikuti
Musa AS.
Kejadian tersebut tidak membuat
Firaun beriman, justru makin benci dan berambisi membunuh Musa AS. Adzab telah
diturunkan berupa kemarau panjang, kekurangan makanan, topan, belalang, kutu,
katak, dan darah. Semuanya justru membuat kebencian Firaun semakin menjadi. Untuk
mengakhiri penderitaan dan kerja paksa oleh bangsa Mesir kepada Bani Israil, serta
rencana pembunuhan Musa AS oleh Firaun, Musa AS dan rombongan Bani Israil pergi
meninggalkan Mesir menuju Israil. Untuk menghindari kejaran Firaun, mereka beralasan
akan mengadakan perayaan ritual agama. Namun akhirnya Firaun tahu, dan bersama
pasukannya mengejar rombongan Musa AS. Konon Firaun membawa 100 ribu kuda 600
ribu prajurit.
Nabi berdoa, agar Allah SWT menurunkan
adzab lebih pedih dan dikabulkan. Ketika sampai pada batas pantai (Teluk Suez),
Musa AS berdoa kepada Allah SWT untuk diberikan perlindungan. Allh SWT kabulkan
dan turunkan perintah untuk memukul tongkat, maka laut terbelah dan rombongan
Musa AS menyeberanginya. Namun ketika Firaun dan pasukannya mengejar, laut
menelan mereka semua tanpa ampun.
Peristiwa ini terjadi pada tahun 1.446 SM, bertepatan dengan pemerintahan Firaun Amanhotep II. Pada kisah di atas, disebutkan Firaun meninggal tenggelam di tengah laut. Namun sesuai penelitian ahli Sejarah, Amanhotep II masih terus berkuasa sampai 1.419 SM.
Kenapa berbeda? Ada beberapa kemungkinan. Pertama, Penetapan waktu tidak akurat, baik waktu eksodus 1.446 SM, waktu kehidupan Musa AS ataupun waktu kekuasaan para Firaun. Kedua, Firaun Amenhotep II tidak ikut serta rombongan yang mengejar Musa AS, sehingga yang mati adalah para pasukan yang dikirim.
Hari keluarnya Bani Israil dari
Mesir akhirnya dijadikan sebagai awal tahun baru bagi mereka, yang disebut
tahun Pasakh, dan harinya di sebut hari raya Pasakh. Mereka merayakan hari ini
dengan tasbih dan menabuh rebana dan kendang. Adalah Maryam an-Nabiyah[4],
saudara perempuan Harun AS yang mempelopori perayaan ini. Selain Pasakh, mereka
juga mempunyai hari raya Fithar dan Haml.
Setelah lepas dari Firaun, dan
tinggal sekitar 40 hari di kawasan ini, Musa AS meminta Harun AS untuk memimpin
kaumnya, sementara Musa AS akan pergi ke gunung untuk bermunajat kepada Allah
SWT. Pada saat itulah, Musa AS mendapatkan firman-Nya secara langsung, bahkan
hendak melihat Tuhan, namun tidak mampu hingga pingsan, sementara bukit yang
dilihatnya hancur. Sepulang dari munajat di gunung sambil membawa
lembaran-lembaran perintah Taurat, Musa AS melihat kaumnya sudah mungkar,
dengan menyembah patung sapi. Nabi murka dan meminta mereka bertobat dan
membunuh diri mereka sendiri. Akhirnya, terjadilah baku hantam, dan saling
bunuh, hingga meninggal ribuan orang, konon sampai 70 ribu.
Setelah membuat perjanjian dengan
kaumnya, Musa AS memerintahkan kaumnya untuk melanjutkan perjalanan menuju
Baitul Maqdis dan merebutnya dari kaum yang kafir. Namun kaumnya menolak,
karena Baitul Maqdis sudah ditempati oleh kaum yang kuat berpostur besar antara
lain kabilah Haitsan, Fazzar, Kanan dan lainnya. Akhirnya Bani Israil hidup
tidak menentu di Padang Tih atau Gunung Sinai, hampir 40 tahun lamanya. Di
tempat inilah Musa AS membangun kehidupan dan peradaban baru bangsa Israel, antara
lain dengan memberikan sepuluh perintah dan larangan.
Suatu waktu, Allah SWT memberi
tahu Musa AS, bahwa ajal Harun AS akan segera berakhir. Musa AS mengajak
saudaranya menuju gunung yang ditunjukkan. Dalam perjalanannya, karena letih,
keduanya tidur dalam pondokan. Dalam tidur itulah, Harun AS di angkat oleh
Allah SWT ke langit. Musa AS kembali kepada kaumnya tanpa Harun AS. Kenyataan
ini justru menimbulkan fitnah, bahwa nabi telah membunuh saudaranya. Namun,
akhirnya Fitnah bisa mereda dan hilang, setelah Musa AS berdoa dan dikabulkan.
Sekitar dua tahun setelah
wafatnya Harun AS, Musa AS melakukan perjalanan dengan Yusya`, di atas kepala
mereka, berkumpul awan hitam pekat yang menyeramkan. Yusya` takut dan
berpegangan kepada baju Musa AS. Namun tanpa disadarinya, Musa AS telah
diangkat ke langit dan dia hanya memegang erat bajunya saja. Kisah lain
menyebutkan, Musa AS wafat dengan masuk ke liang kubur sendiri, disaksikan oleh
malaikat penjaga. Nabi Musa AS wafat pada usia 120 tahun.
Setelah wafatnya dua nabi
tersebut di Padang Tih, Bani Israel dipimpin oleh Yusya` bin Nun. Setelah
melakukan persiapan beberapa waktu, akhirnya Yusya’ dan Bani Israil berhasil
masuk ke Baitul Maqdis setelah mengepung kota tersebut selama enam bulan. Konon
pada hari Jumat, saat pasukan Yusya` akan masuk ke Baitul Maqdis, matahari
tertahan gerakannya untuk memberi waktu dan kesempatan kepada pasukan Bani Israil.
Yusya` adalah Yusya` bin Nun bin
Ifrayim bin Yusuf AS. Yusya` adalah nabi pemimpin Bani Israil setelah Musa AS,
yang meliputi 12 kabilah dengan jumlah sekitar 603.555 orang. Nabi wafat 27
tahun setelah Musa AS.
Selain Harun AS dan Yusya`, nabi
yang hidup bersama Musa AS adalah Nabi Khidhir yang menguasai ilmu dan khikmah
yang sangat tinggi. Silsilah Nabi Khidhir banyak diperselisihkan. Ada yang
mengatakan, nabi adalah putra Adam AS, pendapat yang lebih kuat mengatakan,
nabi adalah Balya bin Mulkan bin Faligh bin Abir bin Syalikh bin Arfakhsyad bin
Sam bin Nuh AS. Menurut ulama, Nabi Khidhir berumur panjang dan masih hidup
sampai sekarang dan tinggal di bumi.
Nabi Khidhir pernah bertemu dengan Nabi Musa AS, dan mereka melakukan perjalanan berdua, yang mana perjalanan tersebut memberi khikmah dan pelajaran tentang rahasia kehidupan yang belum terjadi. Khidhir AS juga dikisahkan bertemu dengan Nabi Ilyas AS, bertemu dengan Rosullullah SAW, bahkan nabi juga bertemu dengan banyak sahabat sepeninggal Rosul. Kebenaran kisah Khidhir AS tersebut masih perlu di telusuri.
Firaun Paska Eksodus Bangsa Ibrani (1.446 SM)
Sepeninggal Firaun Amanhotep II, kerajaan Mesir di pegang oleh Firaun Tuthmosis IV (1.419 – 1.386 SM). Sepeninggalnya, digantikan oleh anaknya, Firaun Amenhotep III (1.386 – 1.349 SM), yang naik tahta saat berusia sangat muda. Selama masa pemerintahannya, Mesir sangat stabil nyaris tanpa peperangan, pembangunan berjalan sangat pesat dan maju. Sang Firaun dibanggakan rakyatnya karena dikisahkan mampu membunuh 56 banteng liar dalam sehari dan 102 singa dalam sepuluh tahun. Dia juga membangun danau sepanjang satu setengah kilometer, membangun kuil Amun di Karnak dan kuil Aten di Luxor. Membangun kediaman di Memphis, membangun pemakaman pribadi, membangun banyak tempat pemujaan di sepanjang sungai Nil selatan. Sang Firaun juga mengkoleksi banyak istri dari raja-raja kecil yang dikuasainya.
Sang Firaun cukup piawai dalam
negosiasi perdamaian dengan kerajaan tetangga. Salah satu caranya adalah
memperistri putri-putri raja. Mesir mencatat perdamaian dengan Raja Sudarna II dari
kerajaan Mitanni, yang masih kerabat dekatnya. Firaun juga membuat hubungan
dengan Raja Assurnadin-ahhe II dari kerajaan Assur, meskipun saat itu posisi
Assur masih dalam kekuasaan Mitanni. Mesir juga membuat perjanjian dengan Raja
Suppiluliuma dari kerajaan Hitti, yang sebenarnya musuh bebuyutan Mitanni. Firaun
juga bermaksud membuat perjanjian dengan Raja Kassi dari Babilonia, namun tidak
berhasil, karena pertukaran wanitanya tidak diterima oleh Raja Kassi.
Selama 37 tahun masa
pemerintahannya, Mesir mengalami kedamaian dan kemakmuran yang tidak ada
padanannya. Namun dia harus mengakhiri kekuasaanya karena meninggal akibat
penyakit infeksi gigi yang parah. Penggantinya Firaun Amenhotep IV.
Jika Ayahnya menyembah banyak
Tuhan, Firaun Amenhotep IV menyembah satu Tuhan, atau monoteisme, yaitu Tuhan
Matahari, atau di sebut Aten. Sang Firaun sangat taat menyembah Aten, dan
menurut kisah, Dia menerima perintah Tuhan untuk membuat kota pemujaan
sekaligus sebagai ibu kota baru di dataran belantara yang kering dan berpasir,
di sebelah timur Nil, di bawah bukit cekung, tiada tanah subur di dekatnya,
panasnya terik, dinding batu dan karang nya menghalangi angin. Kotanya disebut
Akhet-Aten dan dia menobatkan Namanya menjadi Akhenaten (1.349 – 1.334 SM).
Pada masa akhir jabatannya,
kerajaan Mesir di rundung wabah penyakit. Bahkan Firaun Akhenaten tidak kunjung
memiliki putra lelaki. Setelah berbagai upaya mendapatkan anak laki-laki gagal,
akhirnya kerajaan menunjuk anak laki-laki sembilan tahun, yang sebetulnya bukan
keturunan Akhenaten, sebagai raja, Namanya Tutankhaten, yang selanjutnya
dirubah menjadi Tutankhanum (1.333 – 1.325 SM). Untuk mengukuhkan haknya, Tutankhamun
dinikahkan dengan putri sulung yang jauh lebih tua, bahkan sudah mempunyai
putri, hasil hubungan dengan ayahnya sendiri, Akhenaten.
Setelah berkuasa sekitar satu
dasawarsa, Tutankhamun meninggal dengan sebab yang tidak diketahui. Dia tidak
meninggalkan anak. Istrinya, Ankhesenamun kawatir kekuasan akan diambil para
pejabat kerajaan. Dirinya menawarkan kepada Raja Hitti untuk mengirim putranya
menjadi raja Mesir sekaligus menjadi suaminya. Raja Suppiluliuma dari Hitti
setuju, dan mengirim putranya ke Mesir, namun dia tidak pernah sampai di Mesir,
karena dibunuh oleh pasukan yang tidak diketahui. Raja Suppiluliuma hendak
membalas dendam ke Mesir, namun tidak terlaksana, karena meninggal terserang
wabah dalam perjalanan.
Akhinya, kakek Ankhesenamun sekaligus
penasehat raja, Ay (1.325 – 1.321 SM) membuat klaim sebagai raja Mesir. Setelah
memerintah sekitar empat tahun, dia meninggal karena usia tua. Sepeninggalnya,
Horembeb (1.321-1.293 SM), jenderal Mesir yang ternama, menyatakan diri sebagai
raja Mesir berikutnya. Horembeb memerintah cukup lama, 80 tahun, dan akhirnya
meninggal karena usia tua. Karena tidak memiliki anak laki-laki, kerajaan
diberikan kepada tentara yang dipercayainya, yaitu Rameses I. Rameses I hanya
memerintah sekitar setahun, meninggal karena usia tua. Pemerintahan digantikan
oleh anaknya, Seti. Selanjutnya mewariskan kepada putranya Rameses II (1.278 –
1.212 SM).
Rameses II menjadi raja sejak usia sekitar 15 tahun, dan menjadi raja kedua terlama di Mesir, sekitar 90 tahun. Karena lamanya masa pemerintahan ini, wajar jika Rameses II menjadi raja Mesir yang sangat popular. Hasil pembangunannya merata hampir di seluruh wilayah Mesir, seperti kuil, patung, monumen dan seterusnya. Namun yang paling terkenal adalah peperangan dengan Hitti untuk merebut kota Kadesh. Pada peperangan tersebut, Rameses II konon mengerahkan 20 ribu pasukan, namun Raja Muwatalli dari Hitti ternyata membawa pasukan lebih banyak, sekitar 48 ribu pasukan. Konon tidak ada yang menang dalam peperangan tersebut, karena Kadesh tetap dimiliki oleh Hitti, namun Mesir membawa pulang rampasan perang dan tawanan.
Gejolak Asia Kecil (1.340 – 1.321 SM)
Pada masa ini, kerajaan Hitti berkembang semakin kuat, terutama Angkatan militernya. Demikian juga Assur, yang sebetulnya masih bagian dari Mitanni, juga bemaksud mengembangkan kekuatan militer. Sebaliknya, kerajaan besar Mitanni terlihat melemah. Demikian juga kerajaan Mesir yang amat perkasa, sedang di rundung wabah yang cukup mengerikan.
Pada kondisi demikian, Raja Suppiuliuma
dari Hitti mencoba menggandeng Raja Assur-Uballit dari Assur untuk menaklukan Raja
Tushratta di Mitanni. Hitti juga mencoba bernegosiasi kepada Raja Akhenaten
Mesir untuk tidak ikut campur dalam rencana pertempuran ini. Maka, pada suatu
saat, Hitti mulai bergerak menyerang Mitanni dari sisi barat, sedangkan Assur
menggempur dari sisi selatan. Mitanni tidak berdaya, Raja Tushratta melarikan
diri, namun ternyata dibunuh oleh pegawai nya selama dalam perjalanan. Sejak kekalahan
ini, kerajaan Mitanni tidak pernah muncul lagi di muka bumi. Sebaliknya, Assur
memproklamasikan diri sebagai kerajaan, sekaligus melebarkan wilayahnya ke
Mesopotamia utara. Inilah kali pertama Assur bangkit kembali menjadi kerajaan,
setelah penggulingan dinasti Shamsi-Adad. Sementara Hitti mengambil wilayah
Mitanni bagian barat dan terus memanjang ke perbatasan Mesir.
Setelah memerintah dalam waktu
cukup lama, Raja Suppiuliuma meninggal karena usia. Dia menunjuk anaknya
sebagai pewaris, namun pamannya, sekaligus orang terkuat kedua dalam kerajaan,
Hattusilis III tidak menerima. Hattusilis menahan raja muda dan menobatkan diri
sebagai raja Hitti.
Sementara di Assur, raja
Assur-Uballit telah digantikan anaknya Adad-nirari dan selanjutnya Shalmanester
I, raja yang agresif dan berambisi untuk mengambil kembali semua wilayah yang
pernah di kuasai Mittani.
Di bagian selatan Mesopotamia, ada kerajaan Babilonia yang diperintah oleh Raja Burnaburiash I. Untuk membangun perdamaian dengan Assur, dilakukan perkawinan putra mahkota, Karaindash. Perkawinan ini ternyata tidak sesuai harapan, konflik keluarga mewarnai jalannya kerajaan, hingga Karaindash terbunuh, dan hubungan Babilon versus Assur tidak sepenuhnya damai.
Perang Troya (1.260-1.230 SM)
Perang Troya sangat legendaris dan popular, bahkan telah muncul dalam epik-epik dunia film. Troya adalah kota kecil di pantai barat laut Asia Kecil. Kota ini sudah mulai berpenghuni sejak sekitar 3.000 SM. Namun pada suatu masa, gempa bumi besar meratakan kota kecil ini, hingga peradaban musnah dan berawal kembali dari nol. Pada tahun 1.260 SM, kota ini telah berkembang pesat, memiliki raja dan istana, benteng yang sangat kuat, tentara yang hebat. Troya sangat kaya, dan mandiri, tidak terlalu bergantung dengan pasokan dari luar. Entah kenapa, kota kecil yang kaya ini, tidak menjadi rebutan para penguasa ambisius yang sedang berjaya pada masanya, yaitu Rameses II di Mesir dan Hattusilis III di Hitti. Padahal jarak antara Troya dan Hitti tidak terlalu jauh. Kisah Troya mencuat justru karena pertempuran sengit nan dramatis yang terjadi dengan bangsa Yunani, tepatnya bangsa Mycenas. Kisah epik nya sebagai berikut.
Raja Sparta, Menelaus menikah
dengan Helena, putri dari raja Argos. Helena menarik perhatian Paris, putra
Priamus, raja Troya. Paris tertarik kepada Helena, demikian sebaliknya Helena. Keduanya
terjain cinta. Akhirnya, Paris membawa Helena ke Troya. Menelaus tidak bisa
menerima aksi ini, dan bertekad membalas dendam. Menelaus mengajak Agamemnon,
yang merupakan maha raja Yunani. Agamemnon setuju, dan mengajak serta
menggabungkan tentara dari banyak kerajaan Yunani untuk membantunya menyerang
Troya. Termasuk di dalamnya mengajak petempur legendaris Achilles, yang berasal
dari Thesaly, sebuah daerah pegunungan di bagian utara semenanjung Yunani.
Dalam jumlah pasukan yang luar biasa besar, pasukan Mycenas mulai menyeberangi
lautan menuju Troya. Karena benteng Troya terlalu kokoh untuk ditembus,
terpaksa pasukan Mycenas mengepung kota Troya, namun ternyata tidak mudah
mengalahkannya. Konon pengepungan berjalan sangat lama, sekitar sepuluh tahun.
Tentu saja, selama pengepungan, pasukan Mycenas semakin kesulitan logistik,
sehingga pasukan juga diminta untuk mencari makanan dan logistik, bahkan mereka
harus merampok kapal. Perang diakhiri dengan drama pembuatan Kuda Kayu setinggi
bukit, yang diisi pasukan terbaik dan diserahkan kepada Troya. Jebakan ini berhasil,
Kuda di bawa pasukan Troya ke dalam benteng dan dianggap sebagai kemenangan.
Seluruh Troya berpesta, dan terlelap tidur. Dalam tidur yang sunyi tersebut,
pasukan Mycenas dalam tubuh Kuda Troya keluar dan menyerang dengan mudah. Troya
takluk, habis di bakar tidak tersisa.
Setelah kemenangan besar ini, pasukan Mycenas pulang kembali ke Yunani. Namun tanpa dikira, negerinya sudah merosot, kekurangan pangan, pencurian dan pemerkosaan tidak terkendali, kemiskinan, dan seterusnya. Pasukan yang baru saja tiba, bukan disambut pesta, tapi disambut oleh kepanikan dan kehancuran. Sejak saat ini kerajaan Mycenas tidak bangkit kembali.
Perunggu dari China dan Rig Weda dari India (1.200
SM)
Dinasti Shang China sudah tinggal di kota Yin, dengan raja ke dua puluh, bernama Wu Ting (1.200 SM). Konon, pada tiga tahun awal pemerintahanya, Wu Ting tidak berbicara, namun menunjukkan kewibawaan yang sangat tinggi. Kerajaan di jalankan dengan sifat kesederhanaan dan kasih yang besar kepada rakyatnya. Pada masa ini, rakyat China mampu membuat bejana, senjata, alat pertanian, hiasan, dan berbagai macam dari bahan perunggu yang diolah. Konon, tidak ada bangsa lain di dunia saat itu, yang mampu mencetak perunggu ke dalam bentuk-bentuk yang sedemikian canggih. Itulah karya terbesar Dinasti Shang dari China yang popular.
Sementara di India, orang Arya yang menetap di sepanjang Indus, di sebelah selatan pegunungan, mereka mulai memahami makna inkarnasi baru mereka sebagai sebuah bangsa yang menetap dan memiliki mitos sendiri. Kumpulan himne India paling awal, yaitu Rig Weda yang bercorak puisi, di gubah dalam bahasa mereka sendiri. Rig Weda dikhususkan untuk menjelaskan kodrat dan tuntutan dewa-dewa India.
Nebukadnezzar dan Tiglath-Pileser dari Mesopotamia (sekitar 1.100 SM)
Di kerajaan Assur, Shalmanester I
juga sudah meninggal, digantikan anaknya Tukulti-Ninurta. Tukulti-Ninurta
adalah raja yang agresif dan perkasa. Melihat kondisi Hitti yang melemah, dia
mencoba menyerang sisi barat kerajaan. Tukulti-Ninurta sukses menaklukan bagian
Hitti dan konon membawa pulang tawanan sebanyak 28 ribu tentara. Tudhaliya
mundur ke ibu kota, dan setelah kematiannya karena usia, kerajaan Hitti di
perebutkan oleh para pewaris hingga tercabik-cabik.
Belum puas mengalahkan Hitti,
Tukulti-Ninurta Assur bergerak menyerang Babilonia, yang di pimpin raja
Kashtiliash IV. Serangan kembali memperoleh sukses besar. Bahkan Assur menjarah
seluruh barang-barang berharga milik Babilon, termasuk patung dewa dan Marduk,
yang mana hal ini tidak pernah dilakukan oleh raja Assur sebelumnya, karena
penghormatan mereka terhadap dewa Babilonia. Tukulti-Ninurta juga menggelandang
raja Kashtiliash IV ke Assur dengan rantai dan telanjang. Kini Tukulti-Ninurta
menjadi raja terbesar di Kawasan tersebut. Namun sifat bengisnya menimbulkan
masalah, sehingga, setelah 37 tahun memerintah, anak dan pejabatnya melakukan
pemberontakan, memenjarakan dan membunuh sang raja. Selanjutnya kerajaan
diperintah oleh anaknya, Assurnadin-apli.
Namun sayang, raja
Assurnadin-apli bukan raja yang kuat, dengan segera Babilonia memberontak dan
menyatakan kemerdekaannya, meskipun sebelumnya, Assur sudah mengembalikan
Marduk ke Babilon. Tidak hanya itu, orang Elam juga memanfaatkan kelemahan
Assur, segera menyerang dan menguasai Nipur. Aksi orang Elam berlanjut menuju
Babilonia, dengan serangan yang besar. Babilonia kembali tumbang, dan seluruh
harta, Marduk bahkan stele Hammurabi di boyong orang Elam ke Susa.
Assurnadin-apli, sang raja Assur
yang lemah, hanya bertahta selama tiga tahun. Setelah kematiannya, posisi raja
di genggam oleh kemenakan, yang bertahan selama enam tahun. Selanjutnya
digantikan oleh pamannya yang lain. Raja baru ini bertahan lima tahun, dan
digulingkan kembali oleh seseorang yang membuat klaim berdarah Tukulti-Ninurta.
Sampai suatu ketika, muncul pemimpin bernama Tiglath-Pileser.
Tiglath-Pileser naik tahta tidak
lama setelah kota Hattusas di Hitti di bakar menjadi abu oleh bangsa Phrygia.
Dalam waktu kurang dari empat tahun, Raja telah memulihkan keadaan Assur dan
mengambil kembali wilayahnya yang hilang. Raja memimpin Assur sekitar 38
delapan tahun dan meninggal karena usia.
Sementara di kerajaan Babilonia, setelah beberapa periode orang Elam berkuasa, sekitar tiga atau empat tahun sejak kenaikan Raja Tiglath-Pileser di Assur, muncul orang yang mengaku membawa Dinasti Kedua Isin, Bernama Nebukhadnezzar. Sang Raja sangat kuat dan di segani. Dalam waktu singkat mampu memulihkan keadaan Babilonia. Dia menyerbu kota Susa, pusat kota bangsa Elam, untuk mengambil kembali patung Dewa Marduk dan sukses membawanya kembali ke Babilon. Selama pemerintahannya, Babilonia kembali berjaya seperti sebelumnya.
Pertikaian dan Kehancuran (Menjelang 1.000 SM)
Mesir
Raja Mesir Firaun Rameses II
meninggal pada usia sembilan puluhan tahun, digantikan putranya Merneptah (1.212
– 1.202 SM). Merneptah bertahan hingga meninggal karena usia. Namun setelahnya,
putra Seti II tidak bisa meneruskan kerajaan selama tiga tahun, karena diturunkan
oleh saudara tirinya. Setelah berkuasa kembali, pemerintahan Seti II juga
berlangsung singkat, digantikan oleh anaknya yang juga meninggal usia muda.
Kekosongan kekuasaan dimanfaatkan oleh ibu tirinya, Twosret untuk mengambil
alih kerajaan, namun tetap saja kerajaan terus merosot, hingga dinasti ke
sembilan belas berakhir secara tidak terhormat.
Setelah Dinasti ke sembilan belas
hancur, muncul seseorang dari asal yang tidak diketahui, memimpin pasukan
melawan para penyerbu dari utara. Dia sukses dan menobatkan diri sebagai raja
Mesir berikutnya dengan nama Setnakhte (1.185 – 1.182 SM). Setnakhte di catat
sejarah sebagai awal dinasti ke dua puluh. Setelah memimpin Mesir selama tiga
tahun, Setnakhte meninggal dan diganti anaknya yang mengambil nama Rameses III.
Rameses III berjuang keras
mempertahankan Mesir dari penyerbuan asing yang kian banyak. Penyerbu utara,
yang sebelumnya hanya bangsa Semit Barat, kini mereka bergabung dengan bangsa
Yunani dan Asia Kecil. Mereka membawa pasukan laut dalam jumlah yang sangat
besar. Namun demikian Rameses III sukses dan bertahan. Dari arah barat, untuk
kali pertama, Mesir bertempur dengan bangsa Libia yang sedang mencoba
mendirikan kerajaan di perbatasan Mesir. Rameses III kembali menang dan sukses.
Rameses III meninggal karena usia lanjut.
Setelah kematiannya, Mesir dipimpin oleh delapan Rameses berikutnya selama 80 tahun, namun tidak ada berita, yang ada justru kekacauan. Banyak wilayahnya yang hilang, termasuk Semit Barat yang lepas pada sekitar 1.140 SM. Di tengah kekacauan, muncul nama raja, Herihor (1.080 – 1.074 SM), namun tidak berhasil membangkitkan kejayaan Mesir. Kemunduran dan kemerosotan terus berlanjut, hingga masuk periode pemerintahan periode menengah ketiga (1.070 - 664 SM).
Asia Kecil
Di Kawasan utara, Raja Hitti Hattusili III juga meninggal, digantikan anaknya Tudhaliya IV. Namun sayang, Tudhaliya IV tidak hanya mewarisi tahta, tapi juga kemesorotan, kelaparan dan kondisi umum yang memburuk. Sepeninggal Tudhaliya IV, anak termudanya, yang menamakan diri sebagai Suppiluliuma II, berhasil sedikit mengangkat kebangkitan kerajaan. Namun sayang, muncul serbuan bangsa asing, yang datang dari berbagai daerah di Kawasan Laut Tengah dan mereka sebut bangsa Phrygia, dalam jumlah besar dan masif, menghancurkan Hitti dan membakar dan mengubah ibu kota menjadi abu.
Mesopotamia
Setelah Tiglath-Pileser meninggal
karena usia tua, dia digantikan oleh anaknya. Namun sayang, kondisi sudah mulai
goyah, karena kelaparan mulai melanda rakyatnya. Namun yang paling mengerikan
adalah pasukan asing, yang datang dari sekitar Semit Barat dan biasa disebut
bangsa Aram. Bangsa Aram terus berdatangan dan menyerbu Assur. Sampai akhirnya,
Assur jatuh di tangan bangsa Aram, seperti halnya Hitti jatuh di tangan bangsa
Phrygia.
Di Babilonia, setelah menikmati
kejayaan dan kegemilangan yang luar biasa di bawah kepemiminan Nebukadnezzar, cahayanya
mulai redup tatkala Sang Raja meninggal dan digantikan anaknya. Sang Anak tidak
mampu mempertahankan kerajaan. Sebagaimana kerajaan Assur yang jatuh ke tangan
bangsa Aram, Babilonia juga bernasib sama. Kekuatan Babilonia tidak bisa
berbicara melawan kekuatan bangsa Aram. Dengan demikian, dalam waktu yang
relatif singkat, bangsa Aram telah menguasai seluruh Mesopotamia, yaitu
kerajaan besar Assur dan Babilonia.
Orang Aram, sebagaimana orang Doria, adalah bangsa dengan budaya rendah, tidak menulis, tidak memiliki tentara kuat dan tidak membuat administrasi dengan baik. Maka wajar, setelah kejatuhan ini, bangsa Aram tidak nampak membangun kerajaan di Babilonia.
Semenanjung Yunani
Sepulang dari kemenangan perang
Troya, Agamemnon tidak berpesta, karena dia di bunuh di kamar mandi oleh istri
dan kekasih barunya. Demikian juga pasukan dan tentara yang lain. Mereka tidak
berpesta, karena mereka menemukan rumahnya telah dikuasai oleh musuh. Kekacauan
dan putus asa terjadi dimana-mana.
Perlahan, tapi pasti, orang Doria
dari arah utara masuk ke semenanjung Yunani. Satu persatu kota Yunani di bakar
dan dikuasai. Sparta adalah yang pertama, berikutnya Mycenas dan Pylos dan
terus kota-kota lainnya. Athena aman dari pembakaran, namun kondisinya merosot
tajam.
Doria adalah bangsa yang tidak
dikenal, dengan peradaban yang relatif tertinggal, tidak memiliki tentara kuat,
tidak menulis, tidak berkarya tinggi. Namun, mereka mampu meratakan Yunani yang
amat maju. Setelah pendudukannya, Doria hanya bertani dan terbangun kerajaan
apa pun. Sehingga periode ini, sering di sebut sebagai periode kegelapan
Yunani.
Serbuan Doria memang bukan satu-satunya sebab. Perang dengan Troya selama sepuluh tahun, tentu menghabiskan sumber daya dan daya tahan bangsa. Menang perang tidak memberi mereka tambahan kekayaan, sementara sumber daya yang telah habis membuat mereka semakin terpuruk. Selain perang, Yunani juga diserang oleh wabah Pes. Konon, saat pengepungan Troya, Agamemnon menculik putri dari seorang imam bernama Chryses. Tidak terima dengan penculikan anaknya, dia berdoa kepada Tuhan untuk mengirimkan penyakit kepada pasukan Yunani. Doa terkabul, sebagian pasukan terkena penyakit, bahkan termasuk kudanya. Sekembali ke Yunani, penyakit tersebut terbawa dan meluas di semenanjung Yunani. Tiga hal tersebut, yaitu serbuan Doria, perang Troya, dan wabah pes, telah membawa Yunani pada masa kegelapan di penghujung 1.000 SM.
China
Wu Ting telah meninggal setelah
memerintah 60 tahun. Digantikan oleh anak, cucu, cicit dan seterusnya. Sampai
penguasa kelima bernama Wu-yi. Wu-yi adalah awal bencana Dinasti Shang, karena
sifatnya yang mengejek dan melawan Dewa. Padahal selama ini kekuatan Dinasti
Shang adalah kebijaksanaan, bukan militer. Wu-yi gagal meneruskan tradisi,
bahwa Raja adalah saluran pesan ilahi kepada rakyat China. Sejak saat itulah,
Dinasti Shang mulai merosot. Puncaknya ketika pemerintahan di kuasai oleh cicit
Wu-yi, bernama Chou.
Chou menunjukkan kekejaman yang
tiada tara. Dia tidak menganggap rakyatnya sebagai manusia. Dia menghukum siapa
pun yang dikehendaki, menyiksa dan membunuh semaunya saja,. Nafsu bejatnya
merajalela.
Di ujung perbatasan barat wilayah
Shang, ada bangsa kecil Zhou, dengan penguasa yang bersahaja dan bermartabat,
bernama Wen. Karena kebrutalannya, Chou memenjarakan Wen. Setelah keluar
penjara, Wen justru membela rakyat Chou yang tertindas. Akhirnya rakyat Chou
berbondong-bondong bergabung dengan Wen dan bangsa Zhou untuk melawan Chou.
Karena Wen meninggal akibat usia sebelum pergerakan dimulai, anaknya Wu
meneruskan perjuangannya.
Singkat cerita, terjadilah perang
besar, Wu membawa 50 ribu tentara, sementara Chou membawa 700 ribu tentara.
Ketika keduanya berhadapan, tentara Chou berbalik, bergabung dengan Wu,
menyerang Chou. Tentara Wu menang besar, kota Yi dan rajanya, Chou di bakar habis
tanpa sisa. Berakhirlah dinasti Shang digantikan oleh Dinasti Zhou (1.087 –
256).
[1]
Ada perbedaan pendapat perihal masa kekuasaan Firaun Tuthmosis III. Ada sumber
yang mencatat, Tuthmosis III berkuasa antara 1.483-1.450 SM dan selanjutnya di
teruskan oleh anaknya Amanhotep II, Namun sumber lain mengatakan Tuthmosis III
berkuasa sejak 1.479 – 1.425 SM, setelahnya baru diteruskan oleh anaknya
Amanhotep II. Maka, jika merujuk kepada sumber pertama, eksodus Musa AS bertepatan
dengan masa Kerajaan Amanhotep II, namun jika merujuk kepada sumber kedua,
berarti masa eksodus Musa AS bertepatan dengan masa Kerajaan Tuthmosis III,
ayah Amanhotep II.
[2]
Selama periode dinasti ke delapan belas, hubungan antara rakyat Mesir dengan
para pendatang dari utara (termasuk Bani Israel) sedang mengalami ketegangan
yang sangat tinggi. Sering terjadi peperangan antara kedua belah pihak. Jadi,
ketika buku agama menyatakan perkelahian, bisa jadi, faktanya adalah peperangan
antara rakyat Mesir dengan Bani Israel, dan mungkin saja, Musa AS berada di
pihak (membela) Bani Israel.
[3]
Raja Amanhotep II.
[4]
Maryam an-Nabiyah bukanlah Maryam binti Imran ibunda Isa AS.
Komentar
Posting Komentar