Judul eBook: Pergeseran Agama dari Animisme sampai Komputerisme
Penulis: Muhammad Yusuf
Release: Tahun 2020
Halaman: 15 Hal
Format: Flipbook, eBook
DOWNLOAD GRATIS: FLIPBOOK | eBOOK
Jika Anda lebih nyaman membaca pada website, silahkan langsung baca materi dibawah ini.
Pergeseran Agama dari Animisme sampai Komputerisme.
Covid-19 telah mengacaukan seluruh bangsa, seluruh agama, seluruh negara, seluruh dunia. Sampai hari ini (29/06/20), 10 juta orang dinyatakan positif dan ½ juta dinyatakan meninggal dunia. Virus yang diduga berasal dari Wuhan China ini, tidak semata berdampak terhadap penyakit dan kematian, namun telah membuat kepanikan umat manusia, pemberhentian hampir semua aktifitas, pelemahan ekonomi dan perubahan budaya global. Saking dahsyatnya dampak pandemi ini, banyak tokoh dunia memprediksi, Covid-19 berdampak terhadap kehidupan dan masa depan generasi milenial.
Ada hal sangat aneh yang kita alami pada masa
pandemi Covid-19 ini. Mungkin Anda tidak menyadari, tapi saya akan tunjukkan melalui
tulisan ini.
Politeisme
Pada jaman manusia purba, mereka hidup menyatu dengan alam. Manusia ini, yang terdiri dari berbagai macam spesies, hidup sejak 2,5 juta sampai sekitar 10 ribu tahun yang lalu. Mereka mendapatkan makanan dengan berburu atau mengambil langsung dari pepohonan di sekitarnya. Mereka, yang hidup nomaden berpindah-pindah, menggunakan alat kerja seperti batu dan kayu, juga api. Dengan api, mereka bisa memasak hewan buruan dengan kadar yang terbatas. Kemampuan berpikirnya sangat terbatas, mungkin hanya sedikit lebih baik dari simpanse dan keluarga kera lain. Sebagaimana simpanse, spesies manusia ini tidak mampu memikirkan realitas imajiner, tidak mampu merumuskan kepercayaan, apalagi agama.
Homo Sapiens, di duga sudah muncul di muka bumi sekitar 150-100 ribu tahun yang lalu. Bermula dari kawasan Afrika Timur, mereka menyebar ke seluruh belahan bumi. Pada masa penjelajahannya, spesies baru ini bertemu dengan spesies manusia purba yang sudah hidup jauh lebih lama. Berkat keunggulan Homo Sapiens, seluruh spesies manusia purba dinyatakan punah pada sekitar 12-10 ribu tahun yang lalu, yang mana di duga, akibat genosida oleh Homo Sapiens.
Apa yang membuat Homo Sapiens, yang sebetulnya spesies baru, mampu menaklukkan manusia purba yang sudah hidup jutaan tahun? Karena Homo Sapiens mampu berpikir membentuk realitas imajiner dan mampu berkomunikasi antar sesama dengan bahasa yang sangat komplek.
Dengan kemampuan berpikirnya, manusia mulai memikirkan keamanan diri dan kelompok, memikirkan potensi ancaman kekurangan makanan, kehidupan masa depan, dan seterusnya. Dengan basis pemikiran inilah, akhirnya manusia memulai kehidupan baru, yaitu menetap dalam suatu kawasan bersama kelompoknya. Mereka memenuhi kebutuhan makanan dengan bercocok-tanam. Selanjutnya, mereka juga mendomestikasi binatang, yang dimanfaatkan untuk membantu pekerjaan bercocok-tanam, sekaligus untuk disembelih sebagai makanan hewani. Setelah bertahun dan bergenerasi, jadilah sebuah kampung.
Dalam kampung tersebut, hidup mungkin puluhan atau ratusan orang. Setiap hari mereka berinteraksi dan bekerja sama dalam pekerjaan sehari-hari. Tidak bisa dipungkiri, dalam kehidupan bersama ini, akan terjadi kesalahpahaman pada suatu hal, perbedaan pendapat, perebutan gadis paling cantik, pencurian barang yang bukan miliknya, kecurangan dan seterusnya. Hal semacam ini menimbulkan bentrokan, perkelahian bahkan pembunuhan. Pada kondisi demikian, secara otomatis, akan mengorbitkan salah satu anggota terkuat menjadi pelindung bagi anggota lainnya. Jadilah dia seorang pemimpin bagi kelompoknya, dan disebut kepala suku atau sejenisnya.
Kepala suku akan berpikir keras, bagaimana anggota kelompoknya bisa hidup dengan harmonis, saling menghormati, bekerja sama, tidak bertengkar dan bermusuhan. Akhirnya, kepala suku membentuk aturan dan norma yang harus dipatuhi oleh semua anggota kelompok, yang dengannya, kehidupan kelompok bisa berkelanjutan.
Seiring dengan waktu, kelompok tersebut menghadapi berbagai tantangan dan ancaman yang tidak mampu mereka atasi. Bencana alam, seperti gempa bumi, gunung meletus, banjir, kekeringan, selalu menghancurkan kampung dan kehidupan mereka, sementara mereka tidak punya ilmu dan pengetahuan apa pun tentang bencana tersebut. Mereka juga menghadapi wabah penyakit, serangan hama tanaman, penyakit hewan dan seterusnya, yang juga tidak mereka pahami ilmunya sedikit pun. Ketakutan dan kekawatiran terhadap berbagai bencana dan wabah ini telah membangkitkan kebutuhan terhadap perlindungan, yaitu perlindungan dari sesuatu yang maha kuat, maha perkasa.
Maka, mulailah mereka percaya dan menyembah kepada dewa
gunung, dewa air, dewa padi, dan berbagai dewa lainnya. Segala ketakutan mereka
akan mereka jawab sendiri dengan membentuk dewa baru, yang diharapkan menjadi
pelindung dan penyelamat. Jadilah mereka penyembah banyak dewa, atau
politeisme, atau lebih lazim kita sebut animisme dan dinamisme. Politeisme ini
tidak hanya dipegang teguh oleh Homo Sapiens pada masa awal, namun
turun-temurun sampai masa modern, terutama pada kelompok kecil yang terisolasi
dan tidak tersentuh oleh budaya modern.
Monoteisme
Pada sekitar tahun 5800 SM, Nabi diturunkan ke bumi dan mangajarkan agama yang mengenalkan satu tuhan. Yaitu Zat yang Maha Pencipta, Maha Kuasa dan Maha Melindungi. Setelah Nabi pertama, selanjutnya diutus Nabi-nabi berikut yang konon jumlahnya sangat banyak, ratusan bahkan mungkin ribuan. Islam mewajibkan umatnya untuk mengenal para Nabi, paling tidak sejumlah 25 Nabi, dari mulai Nabi Adam AS sampai Rosul Muhammad SAW. Beberapa agama yang saat ini ada atau pernah ada, menyatakan klaim sebagai agama bawaan Nabi ini, diantaranya Islam, Kristen, Hindu, dan mungkin masih banyak lagi. Agama-agama ini bisa kita sebut sebagai agama monoteisme, karena mempercayai satu tuhan, terlepas dari berbagai isu penyimpangan yang menjadi materi diskusi tak pernah henti.
Ketika manusia mempercayai politeisme, maka kelompok manusia atau suku yang satu mempunyai dewa yang berbeda dengan suku lainnya. Persamaan keyakinan hanya terjadi pada suku yang sama. Sebagai contoh, suku A yang hidup di kampung X mempercayai dewa yang bersemayam pada pohon beringin yang tumbuh ratusan tahun di tengah kampung mereka. Sementara suku B di kampung Y mempercayai dewa yang mengatur air pada sungai besar yang mengalir melalui kampung mereka. Suku A dan suku B memiliki keyakinan yang sepenuhnya berbeda, tidak memiliki titik temu sama sekali.
Hal ini sangat berbeda dengan monoteisme. Dengan
monoteisme, orang di kampung A dan kampung B akan memiliki persamaan keyakinan.
Tidak hanya di kampung A dan B, bahkan di negara mana pun di belahan bumi ini,
akan memiliki kepercayaan yang sama, karena semuanya mempercayai satu tuhan,
satu norma.
Agama menjadi Pemersatu
Dengan politeisme, kepala suku mampu menyatukan anggotanya agar hidup dengan cara yang baik dan harmonis. Kerukunan dan persatuan akan membentuk kekuatan suku yang berlipat sehingga mampu bertahan dalam waktu yang lama. Berkat keyakinan politeisme, suku dapat hidup berkelanjutan dalam periode waktu bertahun-tahun, bahkan berabad-abad.
Setelah manusia mengenal agama monoteisme, maka persatuan tidak hanya bisa dibangun dalam satu suku, melainkan satu kawasan, satu negara, satu benua, bahkan seluruh bumi. Sehingga wajar, agama monoteisme telah mendorong kelahiran kerajaan pertama di dunia, yaitu Sumeria. Perlahan tapi pasti, kerajaan-kerajaan kecil terus bermunculan di berbagai kawasan.
Karena ambisi rajanya, beberapa kerajaan mulai menyerang dan menaklukan kerajaan-kerajaan tetangga, hingga akhirnya menjadi kerajaan yang lebih besar. Kerajaan lain mungkin punya alasan berbeda, yaitu memperluas agama dan keyakinan, maka dia pun menyerang kerajaan sebelahnya. Ada pula kerajaan yang berdalih ingin memberikan kemakmuran kepada tetangga, maka sang raja pun mencoba bernegosiasi dengan penguasa tetangga untuk bergabung dalam satu kerajaan, jika menolak perang pun pecah. Begitulah seterusnya, hingga kita melihat fakta, bahwa pada periode ini, seluruh muka bumi dipenuhi dengan perang dan pertumpahan darah yang tiada henti, dari satu perang ke perang yang lain, dari satu penaklukan kepada penaklukan yang lain. Setiap terjadi perselisihan, perang selalu menjadi solusi standar. Bahkan hanya karena lamaran sang Pangeran ditolak, perang menjadi pilihan pertama.
Dalam dunia yang penuh peperangan, muncullah beberapa raja kuat yang mampu menaklukan tetangga dalam jangkauan yang sangat luas, hingga akhirnya mampu membangun kekaisaran atau imperium raksasa. Seperti Kerajaan Mesir Firaun dan Yunani, Kekaisaran Romawi, dan Kekalifahan Islam. Sedangkan di Nusantara antara lain Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit.
Selain membangun imperium raksasa, manusia periode ini juga berhasil mewujudkan bangunan yang mengagumkan, sebut saja contohnya Piramida Mesir, Parthenon Athena, Colosseum Roma, Great Wall China, Borobudur Indonesia.
Perlu di catat, bahwa kemampuan mereka membangun imperium dan warisan mengagumkan adalah berkat persatuan dan penyatuan kepercayaan monoteisme. Tanpa penyatuan kepercayaan, agama, atau ideologi, mustahil bagi umat manusia untuk membangun imperium dan warisan budaya mencengangkan. Inilah yang membedakan manusia periode ini dari periode sebelumnya. Kenapa monoteisme menjadi kunci keberhasilan ini? Berikut penjelasannya.
Pada periode politeisme, mereka terkurung dalam satu atau beberapa suku saja. Karena suku di luar sana tidak punya kepercayaan yang sama, maka diantara mereka tidak punya hubungan batin apa pun dan tidak mampu bekerja sama untuk membangun sesuatu yang besar. Sehingga wajar, suku dengan anggota kecil ini, tidak cukup untuk membangun kerajaan, apalagi imperium dan warisan megah.
Ketika umat manusia mulai memahami monoteisme, persamaan kepercayaan atau agama bisa di bangun dalam lingkup yang lebih luas, sehingga mampu mempersatukan manusia dalam kawasan yang jauh lebih besar. Jumlah ini cukup untuk membangun sebuah kerajaan, bahkan imperium dan cukup pula untuk membangun karya-karya besar. Tanpa keyakinan, kepercayaan, ideologi atau agama yang sama, mustahil bagi para raja mampu menggerakkan rakyat dalam jumlah sangat banyak untuk penaklukan luas dan membangun karya besar.
Kerajaan Mesir tidak akan mampu memaksa ratusan
ribu rakyatnya membangun Piramida, jika alasanya hanya membangun istana mewah Sang
Raja, namun hal itu bisa diwujudkan karena Piramida adalah perlindungan abadi
bagi Tuhan mereka. Kekalifahan Islam tidak akan mampu menyuruh dan memaksa rakyatnya
untuk terus-menerus melakukan penaklukan tanpa henti, jika alasanya karena
ambisi Sang Khalifah semata, mereka bisa melakukanya karena membawa misi menyebarkan
agama Islam. Raja Samaratungga tidak akan mampu mendirikan Borobudur, jika
alasannya sekedar ingin bermewahan dengan hartanya, namun bangunan ini bisa
berwujud karena menjadi sarana dan persembahan mereka terhadap Tuhan. Begitulah
seterusnya, karya-karya besar selalu muncul berkat kesamaan agama atau ideologi
yang telah ditanamkan dan berurat-akar dalam benak pikiran rakyat.
Liberalisme dan Sosialisme
Bermula dari tahun 1522, ketika kapal Magalhaes kembali ke Spanyol setelah perjalanan mengelilingi dunia selama tiga tahun. Tahun 1602, Perusahaan Perseroan pertama di dirikan di Belanda, Vereenigde Oostindiche Compagnie (VOC), yang melambangkan dimulainya sistim kapitalis Eropa yang mendarah-daging ke seluruh muka bumi hingga sampai hari ini. Megalhaes dan VOC mendorong terjadinya penjajahan Eropa di seluruh dunia. Selama era penjajahan, bangsa Eropa telah mengeruk sumber daya di berbagai belahan dunia hingga menjadikan mereka bangsa yang kaya raya dan mampu mengembangkan sains yang tak terduga.
Tahun 1674, Antoni van Leeuwnhoek menemukan mikroskop yang menjadi awal baru ditemukannya dunia super mungil, dan akhirnya mendorong berbagai temuan terutama di dunia kedokteran. Tahun 1698, Thomas Savery menemukan mesin uap yang membuka penemuan kereta api, mesin industry dan banyak lagi mesin-mesin lainnya. Tahun 1718, James Puckle menemukan senjata api sederhana, dan berkembang menjadi senjata mematikan.
Masih banyak lagi temuan-temuan sains pada 500 tahun terakhir. Sains telah berkembang sangat jauh, hingga mampu menjawab rahasia-rahasia alam yang sebelumnya tidak terjangkau oleh akal manusia. Pada jaman dahulu, segala bencana yang tidak diketahui rahasianya, selalu dianggap murka Tuhan, atau apa pun yang terkait dengan Tuhan atau dewa, dan karenanya disikapi dengan permohonan ampunan, doa, sesembahan, dan sejenisnya. Namun kini, setelah rahasianya terungkap, manusia menganggapnya sebagai fenomena alam semata, karenanya mereka menyikapi dengan langkah-langkah yang dapat di nalar oleh akal.
Dulu, letusan gunung adalah misteri yang mengerikan, karenanya manusia menyembah dewa gunung agar selamat dari murkanya. Kini, letusan gunung didefiniskan sebagai endapan magma di dalam perut bumi yang didorong keluar oleh gas yang bertekanan tinggi. Dulu, musim kemarau panjang dianggap sebagai murka dewa, karenanya manusia perlu memberikan sesembahan untuk meminta ampunan. Kini, kemarau panjang diartikan sebagai pengaruh dari datangnya angin gurun, sehingga menyebabkan udara yang bergerak menjadi lambat dan menjadikan uap air yang terkandung lebih sedikit. Dulu, wabah penyakit dimaknai sebagai azab Tuhan atas dosa manusia, sehingga disikapi dengan sembahyang dan permohonan ampunan. Kini, wabah penyakit didefinisikan sebagai penyebaran massif virus ke dalam tubuh manusia dan menyerang organ vital secara destruktif, sehingga disikapi dengan upaya pencegahan terhadap penyebaran virus dari satu orang kepada orang lain.
Mari kita baca kembali paragraph pertama tulisan ini, tentang pandemi Covid-19. Jika saja pandemi ini terjadi pada periode tahun 5800 SM – 1500 M, bagaimana sikap manusia menghadapi pandemi mematikan ini? Hampir di pastikan, mereka akan membuat sesajian, menyerahkan pengorbanan, atau berkumpul di candi, gereja atau masjid. Mereka memohon ampunan, memohon perlindungan, memohon kesembuhan, bertobat, dan sebagian dari mereka berubah menjadi hamba-hamba yang lebih taat kepada Tuhan. Namun, apa yang kita lihat hari ini? Sungguh berbeda 180 derajat. Candi, gereja, masjid justru dikosongkan. Tidak ada doa masal, tidak ada pengampunan masal, tidak ada doa qunut masal, bahkan haji pun ditiadakan. Justru yang kita lihat adalah pembuatan masker, hand sanitizer dan wastafel secara masal. Para bhiksu, pendeta dan kyai tidak melarang sikap umat, bahkan mereka menjadi pelopor dan pemimpin gerakan memakai masker dan hand sanitizer.
Apa sebenarnya yang sedang terjadi? Ketahuilah, kini agama tidak lagi menjadi rujukan utama, kini agama tidak lagi menjadi norma satu-satunya. Kini sains telah mengambil alih perannya. Manusia telah mempercayai sains, menjadikan sains sebagai saingan tuhan, atau bahkan, sebagian manusia telah menjadikannya sebagai tuhan.
Perkembangan sains telah mendorong pertumbuhan agama baru, yaitu agama yang tidak lagi pasrah sepenuhnya hanya kepada hukum Tuhan, namun percaya kepada hukum manusia, atau disebut agama humanis. Setelah bertumbuh dalam waktu yang cukup lama, agama humanis mulai menampakkan kekuatannya pada abad ke-20, dengan kemunculan paham liberalisme, sosialisme dan evolusioner (Nazi).
Menurut Wikipedia, definisi liberalisme dan sosialisme sebagai berikut. Liberalisme adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan dan persamaan hak adalah nilai politik yang utama. Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu. Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama. Sedangkan sosialisme adalah serangkaian sistem ekonomi dan sosial yang ditandai dengan kepemilikan sosial atas alat-alat produksi dan manajemen mandiri pekerja, serta teori-teori dan gerakan politik yang terkait dengannya. Kepemilikan sosial dapat berupa kepemilikan negara, kolektif, koperasi, atau kepemilikan sosial atas ekuitas. Ada banyak varian sosialisme dan tidak ada definisi tunggal yang merangkum semuanya, dengan kepemilikan sosial menjadi elemen umum yang dimiliki berbagai variannya.
Menurut definisi di atas, paham liberalisme mengedepankan kebebasan individu, sementara sosialisme mengutamakan kewenangan sosial. Sementara paham evolusioner (Nazi) memiliki definisi yang berbeda. Paham evolusioner berpendapat, bahwa manusia terikat pada hukum evolusi Darwin. Kelompok yang unggul akan bertahan dan kelompok lemah akan punah. Pembauran dua kelompok tersebut tidak menguntungkan, karena akan melahirkan generasi yang tidak lebih baik. Konflik, perang dan genosida adalah keniscayaan, karena dengannya akan menghasilkan seleksi alam, dan menyisakan kelompok terbaik.
Ketiga agama humanisme tersebut telah bersaing keras sejak awal abad ke-20. Kompetisinya pecah menjadi Perang Dunia Pertama dan Perang Dunia Kedua, yang dimenangkan oleh kubu Liberal. Pada kedua perang tersebut, kita menyadari, ternyata perang antar agama humanis jauh lebih dahsyat dan mematikan dibandingkan dengan perang-perang antar agama monoteisme, yang terjadi pada jaman sebelumnya. Bahkan setelah Perang Dunia Kedua, perang dingin antara Liberal dan Sosialis masih terus berlangsung. Para pengamat menilai sampai tahun 1970-an, kubu sosialis mendominasi kemenangan, yang ditandai dengan perang Vietnam. Namun, setelah tahun 1980-an, sosialis justru terpuruk jatuh, dan liberal kembali menuju puncak dan mendominasi dunia sampai dengan saat ini. Sehingga wajar, saat ini paham liberal digunakan oleh, atau paling tidak mewarnai, sebagian besar negara di dunia.
Pada periode monoteisme, Kaisar dan Khalifah adalah
perwakilan Tuhan untuk menjamin kehidupan harmonis bagi umat bergama, karenanya
mereka menetapkan dan menjamin berlakunya hukum Tuhan dalam kerajaan. Namun
pada jaman liberal saat ini, Presiden adalah perwakilan rakyat dan menjamin
berlakunya hukum yang ditetapkan oleh rakyat. Pada masa monoteisme, homo
seksual tidak diperbolehkan karena dilarang oleh agama, sedangkan pada masa
kini, alasan ini tidak bisa lagi digunakan, namun seberapa banyak orang yang
setuju dan seberapa banyak yang tidak setuju. Pada jaman dulu, pelacuran bisa
ditutup dengan alasan melanggar hukum Tuhan, namun hari ini, kita menutup
pelacuran karena alasan merusak generasi muda. Pada jaman dulu, orang tua tidak
dihukum akibat menampar anak, karena menurut agama anak dalam tanggung jawabnya,
namun kini, orang tua bisa masuk penjara gara-gara memukul anak, karena
perbuatan tersebut melanggar hak-hak individu sang anak. Demikianlah,
fakta-fakta yang telah kita saksikan, sebagai konsekuensi atas pergeseran agama
dari monoteisme menuju agama humanisme, khususnya humanisme liberal.
Komputerisme
George Floyd adalah seorang lelaki Afrika-Amerika yang meninggal pada 25 Mei 2020, setelah seorang polisi Minneapolis berkulit putih Derek Chauvin menginjak dengan lutut di lehernya. Kasus ini menjadi pemicu aksi besar-besaran di 140 kota di Amerika, selanjutnya melebar ke Kanada, Inggris, Jerman, Belanda, Spanyol, Italia, Belgia, bahkan sampai ke berbagai negara Asia.
Sejatinya sejak 8000 tahun yang lalu, agama monoteisme telah menghapus perbedaan kulit, ras dan suku. Namun dukungan global yang luar biasa terhadap kematian seseorang, yang sebetulnya hanya seorang kulit hitam biasa, baru terjadi saat ini. Dan dukungan ini tidak muncul dari landasan norma agama monoteisme, melainkan berasal dari landasan norma agama liberal, yang mengedepankan kebebasan dan hak-hak individu. Kini kita menyaksikan, agama liberal telah memberi dampak yang luar biasa, mungkin setara atau bahkan mengungguli agama monoteisme.
Dukungan juga datang dari Apple, yang berkomitmen memberikan donasi $ 100 juta untuk racial justice. Aksi serupa diberikan oleh Google yang mengirim dukungan sebesar $ 12 juta. Sementara Facebook, mengeluarkan donasi $ 10 juta, dan masih banyak lagi. Demikianlah, perusahaan-perusahaan raksasa digital telah berinvestasi dalam bidang ideologi, paham, atau agama. Kenapa disebut investasi? karena sesungguhnya donasi ini bukan barang gratisan, namun karena para raksasa digital ini sedang merintis agama baru, berusaha menggeser agama liberalisme menjadi agama komputerisme. Berikut penjelasannya.
Agama liberalis selalu mengagungkan dan menjunjung tinggi kebebasan dan kehendak individu. Sayangnya, saat ini beberapa ilmuwan mulai mempertanyakan, apakah benar manusia mempunyai kebebasan individu? Pertanyaan ilmuwan tentu tidak sembarangan, karena dengan kemajuan sains, mereka telah mampu menunjukkan, bahwa kehendak individu dapat di stimulus atau di manipulasi dengan merubah aliran biokimia dalam otak manusia.
Temuan tentang stimulus otak manusia telah banyak dipublikasikan. Tidak hanya sekedar jurnal ilmiah, bahkan gadget komersial juga sudah mulai muncul di pasaran. Hanya dengan uang sekitar Rp 5 juta, Anda bisa membeli NeoRhythm, sebuah alat yang memproduksi gelombang tertentu untuk menstimulus otak manusia. Hanya semudah menaruh di kepala, Anda akan mendapatkan ketenangan, tidur nyenyak, konsentrasi, bersemangat dan seterusnya. Perangkat yang lebih maju, adalah alat pembaca pikiran orang lain, yang sudah termuat di banyak jurnal ilmiah dan laboratorium. Alat ini sudah dikenalkan oleh beberapa film Hollywood sejak lama, bahkan oleh film kartun anak-anak, SpongeBob SquarePants. Jadi, jika otak manusia dapat dibaca dan di stimulus, dan hal ini dapat dilakukan secara masal dalam kehidupan manusia, lalu dengan landasan apa paham liberal dapat dipertahankan eksistensinya?
Bagaimana dengan kecerdasan manusia? Deep Blue adalah komputer pertama buatan IBM yang memenangkan sebuah permainan catur melawan seorang juara dunia, Garry Kasparov, dalam waktu standar sebuah turnamen catur. Dalam pertandingan enam babak, Deep Blue menang dengan hasil 3,5-2,5, sekaligus menobatkannya menjadi komputer pertama yang mengalahkan juara dunia bertahan. Serupa dengan Deep Blue, AlphaGo adalah program komputer yang dikembangkan oleh Google DeepMind untuk memainkan permainan papan Go. Pada Oktober 2015, AlphaGo menjadi program Go komputer pertama yang mengalahkan pemain manusia profesional tanpa handicap pada papan berukuran 19×19.
Watson adalah sistem komputer yang dikembangkan dalam proyek DeepQA IBM, di desain untuk menjawab pertanyaan dan memberikan konsultasi ahli. Pada awalnya dibuat untuk menjawab pertanyaan pada acara kuis Jeopardy! melawan juara Brad Rutter dan Ken Jennings, dan memenangkan hadiah di tempat pertama sebesar $ 1 juta. Pada Februari 2013, IBM mengumumkan bahwa aplikasi komersial pertama Watson adalah untuk keputusan manajemen dalam perawatan kanker paru-paru. Manoj Saxena, kepala bisnis IBM Watson mengatakan bahwa saat ini 90% perawat di lapangan yang menggunakan Watson mengikuti petunjuknya.
Mungkin Anda masih berpikiran, seberapa pun cerdasnya komputer, kecerdasan tersebut dirancang oleh pembuatnya, tidak akan lebih. Ups, ternyata Anda salah, karena kini komputer dapat belajar sendiri, sehingga makin lama makin pintar, bahkan kepintarannya tidak dibayangkan oleh manusia pembuatnya.
Miko, Kodi, Roybi adalah robot-robot kecil yang dibuat untuk mendampingi anak-anak belajar, bermain, berbagi rasa dan perhatian. Mereka tidak seperti robot-robot kaku yang membantu pekerja merakit mobil, namun robot kecil ini berbicara dengan nada dan kelembutan sesuai dengan suasana hati anak. Miko dapat mengenali keputusan-keputusan anak, mempelajarinya, sehingga makin lama semakin paham preferensi dan kebutuhan anak. Miko dapat Anda beli online hanya sekitar Rp 4 juta.
Waymo, adalah mobil tanpa supir yang dikembangkan Google dan sudah turun ke jalan umum sejak tahun 2015. Saat ini Waymo sudah mondar-mondir bergerak di jalan raya, terutama di Amerika dan negara maju lainnya, menjadi taxi, truck barang, dan segala macam alat transportasi. Semakin berumur, semakin banyak data yang dikumpulkan oleh database Waymo, sehingga mobil ini terus belajar dan keputusannya makin akurat serta “bijaksana”.
Semalam saya buka akun Facebook, pada halaman pertama langsung muncul pesan, “Kami peduli pada Anda dan kenangan yang Anda bagikan di sini. Mungkin ini salah satunya, momen yang Anda posting tepat 9 tahun silam”. Ternyata Facebook masih menyimpan dan ingat foto yang saya posting beberapa tahun silam, yang bahkan, saya sendiri betul-betul lupa tentang foto tersebut. Tidak berhenti di situ, ketika saya buka menu tinjauan foto, Facebook mengejutkan saya dengan pesannya, “Teman Anda menambahkan foto Anda yang mungkin ada di dalamnya”. Oh, ternyata foto yang dikirim teman, ada gambar saya di dalamnya. Bagaimana Facebook bisa mengenali wajah saya? Ingat, Facebook tidak sekedar kenal wajah Anda, namun semakin lama, semakin banyak data yang dipunyai, keputusannya semakin akurat.
Saya, dan sebagian besar warga Jakarta, sudah terbiasa merencanakan rute perjalanan sebelum keluar rumah, maklum kami harus menghindari kemacetan Jakarta yang bisa membuat stress tak terkira. Hari Minggu lalu saya keluar rumah bersama istri dan anak-anak menuju pusat perbelanjaan handphone. Di belakang kemudi, saya minta istriku buka aplikasi navigasi Google Waze. Karena malas buka hape, istriku spontan menjawab, “Lewat tol aja”. Saya memaksanya kembali membuka Waze. Setelah melihat Waze, dia bilang, “Lewat tol 45 menit karena macet di pintu keluar, lewat jalan arteri lancar 35 menit. Terserah mau lewat mana”. Tanpa pikir panjang, saya putuskan mengikuti saran Waze lewat jalan arteri.
Tadi pagi, sebelum ke kantor, saya buka Google Search dan bertanya, “Berapa jumlah penderita Covid-19 hari ini di Jakarta?”. Dalam beberapa detik Google menjawab, “Penderita dikonfirmasi positif 10.250, sembuh 5.228, meninggal dunia 594”.
Hari ini Anda dapat menanyakan rute perjalanan dan Covid, dipastikan dalam beberapa tahun mendatang, Anda dapat menanyakan siapa calon istri terbaik, apa jurusan fakultas paling sesuai, apa pekerjaan yang sesuai passion. Lebih jauh, Anda pun dapat menanyakan kapan gunung Merapi akan meletus lagi, kapan Tsunami akan kembali menghancurkan negeri kita, kapan banjir akan merendam kota.
Selama ini saya tidak pernah membayar sepeser pun kepada Google, Facebook, Apple, Amazon, tapi mereka telah memberi saya konsultasi dan banyak hal lain yang luar biasa. Memang hal itu luar biasa bagi saya, tapi pastilah sepele bagi mereka, karena tidak mungkin mereka memberikan hal luar biasa kepada pengguna yang gratisan. Lalu apa yang tidak sepele bagi para raksana digital? Para raksasa digital sedang mencoba membuat manusia yang otaknya dari chip, sarafnya dari algoritma, ingatannya dari big data, kecerdasannya dari artificial intelligence dan inderanya dari internet of things. Apa itu chip, algoritma, big data, artificial intelligence dan internet of things?
Chip atau chipset komputer adalah kumpulan IC yang
sangat kecil yang saling bekerja sama satu sama lain untuk menunjang kinerja
dari perangkat keras komputer, selain itu chipset merupakan layaknya polisi
lalu lintas yang bertugas mengarahkan aliran data dan menentukan perangkat apa
yang didukung oleh computer. Dengan kalimat yang lebih singkat, chip adalah
otak komputer.
Kata algoritma terdengar rumit, namun sebetulnya sudah kita pakai setiap hari. Ketika kita menulis kalimat di mesin pencari Google, hanya dalam waktu beberapa detik, Google mengeluarkan jawaban luar biasa. Kenapa bisa begitu? Karena Google telah menggunakan algoritma yang super canggih, sehingga mampu mencari jawaban sangat akurat, lengkap dan dalam waktu yang sangat singkat.
Big data adalah himpunan data dalam jumlah yang sangat besar, rumit dan tak terstruktur, sehingga sulit dikelola dengan aplikasi manajemen data tradisional, bisa juga diartikan sebagai pertumbuhan data dan informasi yang eksponensial, dan memiliki data yang bervariasi sehingga memberikan tantangan baru dalam pemahaman dan pengolahan sejumlah data besar yang heterogen. Pada jaman dulu, kita mencatat data dalam tabel. Untuk jumlah data yang lebih banyak, kita menggunakan database, yang terdiri dari banyak tabel, dimana masing-masing tabel terhubung dengan key-field. Jaman sekarang, sebut saja salah satunya Facebook, akan mencatat data tentang identitas pengguna, postingan, foto, video, komentar, like, teman yang disukai, teman yang tidak disukai, dan masih banyak lagi. Facebook juga merekam chat di WhatsApp, pesan di Messenger, video di Rooms, dan seluruhnya digabungkan menjadi satu-kesatuan untuk mengetahui profil pengguna secara utuh. Dengan demikian, Facebook menyimpan data dari sumber yang sangat banyak, sumber yang tidak punya keterkaitan sama sekali, sumber yang strukturnya berbeda, maka tidak mungkin lagi mengelola dengan tabel tradisional. Jumlah data ini bisa terus bertumbuh dan meledak secara eksponensial, sehingga makin akurat dalam mendeskripsi suatu obyek.
Artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan adalah kecerdasan yang ditambahkan kepada suatu sistem yang bisa diatur dalam konteks ilmiah, atau kecerdasan entitas ilmiah. Andreas Kaplan dan Michael Haenlein mendefinisikan kecerdasan buatan sebagai kemampuan sistem untuk menafsirkan data eksternal dengan benar, untuk belajar dari data tersebut, dan menggunakan pembelajaran tersebut guna mencapai tujuan dan tugas tertentu melalui adaptasi yang fleksibel. Kecerdasan diciptakan dan dimasukkan ke dalam suatu mesin (komputer) agar dapat melakukan pekerjaan seperti yang dapat dilakukan manusia. Tiga kata kunci dari definisi AI adalah: belajar, cerdas, seperti manusia.
Internet of Things (IoT) adalah dunia di mana benda-benda fisik diintegrasikan ke dalam jaringan informasi secara berkesinambungan, dan benda-benda fisik tersebut berperan aktif dalam proses bisnis. Bayangkan kondisi kota masa depan sebagai berikut. Seluruh kota telah di pasang kamera CCTV yang terhubung melalui internet ke pusat data, seluruh lampu lalu lintas juga sudah terhubung internet sampai ke pusat data, seluruh pos polisi juga terhubung dan terintegrasi ke pusat data, seluruh mobil bis motor juga terhubung, dan sudah tentu semua polisi dan pengendara juga terhubung ke internet dan pusat data paling tidak melalui hapenya. Lebih lanjut, seluruh titik kota telah terpasang sensor suhu, sensor air hujan, sensor ketinggin air sungai. Di dalam rumah, sudah tentu seluruh penghuni menggunakan hape yang terhubung internet, kamera, televisi, lampu, kulkas, juga terhubung internet. Sudah barang tentu semua berita dari TV, koran, majalah juga terkoneksi dan terkumpul ke dalam pusat data. Dan seterusnya, dan seterusnya, yang pada intinya, semua barang telah terkoneksi internet dan terhubung dengan pusat data. Koneksi internet dari semua benda inilah yang disebut IoT. IoT semakin mudah terwujud berkat munculnya teknologi seluler 5G yang memiliki kecepatan transfer ratusan mega bahkan giga dan nyaris tanpa delay.
Pada kasus kota di atas, IoT menghubungankan semua sumber data melalui internet, sehingga semua data akan terkumpul ke dalam pusat data (big data), kemudian kita pasang algoritma canggih yang memungkinkan pencarian semua data secara efektif, selanjutnya kita tanam AI agar sistem terus belajar dan makin cerdas. Setelah semua ini terwujud, yaitu kerjasama sempurna antara IoT, big data, algoritma dan AI, apakah yang bisa kita bayangkan? Mungkin inilah mimpi yang akan kita saksikan.
Manusia purba takut menghadapi gunung meletus dan karenanya mereka membuat sesembahan di kaki gunung, namun manusia masa depan cukup menanyakan gadgetnya kapan akan terjadi gunung meletus, seberapa dampaknya, dan apa yang harus dia siapkan. Pada millenium ketiga sebelum masehi, Raja Sargon Agung dari Akkadia perlu menghadap dewa untuk menanyakan kapan harus memulai perang, berapa peluangnya untuk menang, sedangkan komandan perang masa depan cukup bertanya pada algoritma, dan dia mendapatkan informasi segalanya. Pada abad ke-12, Salahudin menggelorakan jihad surga yang histeris guna mengerahkan pasukan perang dalam jumlah besar untuk memenangkan perang salib, namun perang masa depan tidak butuh pasukan tidak butuh senjata dan tidak butuh bom atom karena peperangan akan terjadi di dunia maya seperti pemusnahan data, penyebaran virus komputer, pengalihan asset dan sejenisnya. Proses pemilihan presiden Indonesia tahun 2019 sangat melelahkan dan diwarnai bau sara yang mengancam integritas bangsa, namun pemilu masa depan mungkin tidak perlu penjoblosan, tidak perlu voting oleh rakyat, karena calon presiden terbaik sudah diketahui semuanya dari algoritma.
Jika dunia mimpi di atas telah nyata, bagaimana
kita menjaga relevansi agama politeisme? Bagaimana kita menjaga relevansi agama
monoteisme? Bagaimana kita menjaga relevansi agama liberalisme? Karena pada
saat itu, agama dunia telah bergeser menuju agama komputerisme.
Panggung Agama Monoteisme
Pada tahun 1859, Darwin mendapatkan perlawanan keras dari para tokoh agama, karena teori evolusinya dianggap mengingkari penciptaan Tuhan, menimbulkan kesesatan dan murtad. Namun teori tersebut terus menjadi rujukan sampai hari ini, bahkan semakin banyak yang menyakini kebenarannya. Darwin tidak sendirian, banyak ilmuwan sebelumnya mendapat penolakan yang lebih keras, bahkan menerima ganjaran penjara.
Seperti telah disebutkan di atas, sebagian orang telah menganggap bencana alam, seperti gunung meletus, banjir, gagal panen, wabah pendemi, sebagai bagian dari fenomena alam yang dapat dikalkulasi sebab musababnya, sehingga bisa dilakukan mitigasi, antisipasi, solusi dan recovery sesuai kalkulasi sains, oleh karenanya mereka tidak merasa perlu untuk membuat sesaji dan sesembahan, berdoa dan memohon ampunan. Seperti halnya yang kita saksikan saat ini, ketika pandemic Covid-19 menyerang, hanya sedikit manusia yang pergi ke masjid dan gereja untuk memohon pengampunan dan perlindungan Tuhan, mereka justru mengosongkan masjid dan gereja, membuat jarak antar mereka, mengenakan masker dan hand sanitizer, bahkan para tokoh agama menjadi pelopor atas tindakan penutupan sementara masjid dan gereja.
Entah kita sadari atau tidak, agama monoteisme (Islam, Kristen, Hindhu dan sejenisnya) yang semula menguasai semua panggung kehidupan penganutnya, kini mulai rela bergeser sedikit, berbagi panggung dengan agama liberalisme-sains. Pada era masa depan, entah lima tahun, sepuluh tahun, lima puluh tahun atau lebih, panggung agama akan makin menyempit, karena harus berbagi dengan pendatang baru, yaitu agama komputerisme. Kita tentu tidak bisa menghitung, seberapa besar persentase panggung buat agama monoteisme, agama liberalisme dan agama komputerisme, karena mungkin panggung buat agama animisme juga masih ada, namun yang jelas, pendatang baru akan makin dominan dan terlihat lebih cantik gemulai.
Islam memiliki tafsir Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 208, “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan (kaffah),…”. Agama lain juga memiliki tuntunan yang sejenis. Jika kita menerima fakta, bahwa agama telah berbagi panggung dengan liberalisme-sains dan komputerisme, lalu bagaimana kita memaknai kalimat “keseluruhan (kaffah)”?
Inilah sebetulnya jawaban saya terhadap beberapa teman yang menanyakan maksud penulisan artikel ini. Untuk apa artikel ini ditulis? Yaitu untuk menunjukkan fakta, bahwa saat ini agama telah berbagi panggung dalam kehidupan penganutnya. Dan di masa depan, panggung tersebut akan semakin menyempit, karena pendatang baru akan makin seksi.
Maka tugas berat bagi para tokoh agama Islam, Kristen, Hindu dan lainnya adalah, bagaimana memaknai ulang kalimat kaffah, dan bagaimana menjaga relevansi agamanya menghadapi godaan liberalis-sains dan komputerisme.
Penutup
Manusia purba hanya tahu sedikit tentang alam sekitarnya. Untuk mengatasi ketakutan terhadap hal-hal yang tidak diketahui, mereka menyembah apa pun yang ada disekitarnya, maka munculah banyak dewa, atau politeisme. Dengan berkembangnya kognitif dan imajinasi, dan mungkin bersamaan dengan ditugaskannya para Nabi, manusia mulai mengenal Tuhan, yang telah mengutus Nabi untuk mengajarkan agama sebagai norma dan pedoman bagi seluruh aspek kehidupan pengikutnya.
Perkembangan sains yang luar biasa, telah membuka tabir rahasia, dan menjadikan manusia mengetahui berbagai fenomena alam dan banyak hal lain. Baik secara sengaja atau tidak, disadari atau tidak, manusia telah menggeser agama yang semula menguasai seluruh panggung kehidupannya, kini sebagian diisi oleh liberalis-sains.
Manusia masa depan akan menghadapi pendatang baru, yaitu komputerisme. Tak bisa dihindari, pendatang baru akan mencuri sebagian panggung agama, dan mungkin lebih digemari, karena terlihat amat seksi.
Tugas berat di pundak para tokoh agama adalah, menerima fakta, bahwa panggung agama akan menyempit, bersedia meredefinisi ulang makna kaffah, dan menjaga relevansi agama sebagai norma dan pedoman hidup bagi manusia masa depan.
e-Book GRATIS, silahkan download di link berikut : Pergeseran Agama dari Animisme sampai Komputerisme
Hay bos quhh, baru sempet komen.., baru ketemu nih kolumnus keren pemaparan runut dengan membuka beberapa literasi holistik secara luas lalu mengajak bermuara satu titik religi, keren 😎.
BalasHapusWalau tidak muncul kesimpulan, namun mengajak fikiran kita mejawab suatu ekses. Itu keren bos quh.
Saya jadi bertanya perlukah agama ketika tatanan universe bahkan manusia sebagai khalifah sudah sesuai dengan keinginan tuhan (analogi kalo tuhan punya keinginan) sudah sesuai.. Bahkan saya akan sangat prihatin (😊pesimis) para ulama yg tidak mudah move on dengan kemajuan tekhnologi serta mau ikut aware sementara kalau dilihat masih berkutat dengan syiar warisan yg bicaranya hanya surga dan neraka..
Btw.. Keren share serta gaya penulisannya membuka fikiran👍👍👍
Terima kasih. Semoga menambah wawasan dan bermanfaat
HapusSayang sekali. Teori tentang evolusi dimasukan juga. Karena teori adalah teori
BalasHapusSeperti manusia purba yang bertentangan dengan Al-Qur'an
Dan mengenai agama kenapa ada penyembah gunung dll.
Bisa dilihat dari kisah nabi Adam yg di goda iblis .
Untuk agama teknologi. Bukanlah agama. Justru masuk kepada atheis
https://mudah-simple.blogspot.com/2021/03/bab-1-hakikat-manusia.html
Manusia purba, evolusi. Betul kah bertentangan dengan Al-Qur’an?
HapusKalau demikian, apakah Teori "Bumi Bulat" juga bertentangan dengan Al-Qur’an? Perlu di ketahui, pada awalnya, teori bumi bulat di tentang oleh semua agama. Bahkan, Galileo di penjara oleh Gereja gara-gara teori nya tersebut. Tafsir Al-Qur’an tidak ada yang menyebut bumi bulat, adanya "hamparan". Lalu, kenapa saat ini kita percaya bahwa Bumi Bulat? apakah kita melawan Al-Qur’an?
Tidak selalu yang tidak ditulis Alquran adalah tidak ada kecuali. Sudah tertulis. Kata kata dalam Al-Qur'an janganlah di tafsirkan secara letter saja. Karena sastra Al-Qur'an sangat tinggi. Bila tafsiran tidak ada Misalkan dalam hadits. maka digunakan akal. Dan bukti ilmiah. Sudah banyak scientis muslim yang mengatakan bumi bulat. Misalkan albiruni.
HapusBaca lagi secara lengkap Al-Baqarah ayat 22.
https://m.republika.co.id/berita/ozx195396/bumi-bulat-atau-datar-ini-penjelasan-ahli-tafsir-alquran
Untuk manusia pertama adalah nabi Adam. Tidak ada keraguan didalamnya
Terima kasih komen nya.
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus