Bangsa Indonesia dibuat kaget
dengan Aksi Bela Islam 411 (merujuk pada tanggal 04 November 2016), yang
diikuti oleh ratusan ribu muslim dari seantero nusantara, dan merupakan
kelanjutan dari aksi sebelumnya 1410. Publik mengira, aksi tersebut menjadi
demo muslim terbesar yang menuntut Pemerintah untuk segera mengadili Ahok.
Ternyata prasangka tersebut
salah, karena demo lebih besar mampu dihadirkan pada Aksi Super Damai 212, yang
konon dihadiri jutaan muslim. Bahkan aksi masih berlanjut pada Aksi 112,
meskipun tidak sebesar Aksi Super Damai 212.
Rangkaian aksi tersebut pada
awalnya dipicu oleh pernyataan gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, alias
Ahok yang mengeluarkan pernyataaan yang dianggap menistakan agama, dalam
kunjungan kerjanya ke Kepulauan Seribu.
Namun demikian, sulit untuk
dipungkiri, bahwa aksi tersebut juga di topang oleh ketidaksiapan muslim
Indonesia menerima Ahok, sebagai keturunan China dan bukan Islam, menjadi
gubernur Jakarta untuk periode kedua.
Banyak alasan, kenapa muslim
tidak siap menerima Ahok. Diantaranya karena kawatir Ahok akan mengurangi kebebasan
muslim dalam beribadah, Ahok bakal mendorong pertumbuhan agama non Islam, Ahok
mendahulukan golongan makmur China
sementara golongan lemah muslim yang jumlahnya mayoritas justru dimarjinalkan,
dan seterusnya.
Dan tentu saja, alasan paling popular
dan terungkap ke publik adalah Al-Quran surat Al-Maidah ayat 51, yang
kandungannya sebagai berikut: “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan
Nasrani menjadi auliya bagimu; sebahagian mereka adalah auliya bagi sebahagian
yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi auliya, maka
sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang yang lalim.”
Kenapa Pendapat Muslim Terpecah?
Tafsir Al-Maidah 51 di atas
sangat jelas, bahwa muslim dilarang memilih Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin.
Namun, kenapa tidak semua muslim bulat menolak pemimpin Yahudi dan Nasrani?
Yang pertama dan pasti, karena
sebagian muslim memang tidak taat beragama. Islam melarang alcohol dan berzina,
namun tetap saja banyak muslim yang minum alcohol dan berzina. Demikian juga
dengan larangan memilih pemimpin Yahudi dan Nasrani, pasti ada sebagian muslim
yang cuek dan tidak perduli dengan larangan tersebut. Karena memang mereka tidak taat agama, boleh dikata cuek bebek. Alasan ini tidak perlu
diperjelas dan diperpanjang, karena sudah sangat jelas.
Namun demikian, alasan di atas
bukanlah satu-satunya, karena masih ada alasan lain. Berikut pandangan penulis.
Kesepakatan Politik
Konstitusi adalah landasan
kehidupan bernegara. Sebagaimana keluarga, seluruh anggota harus patuh pada
aturan yang ditetapkan dalam keluarga. Bagaimana pun bentuk aturan tersebut,
siapa pun yang menetapkan aturan tersebut, kepatuhan adalah mutlak dan
keniscayaan. Ketidakpatuhan akan menimbulkan keributan antar anggota keluarga.
Menurut Wikipedia, jumlah
penduduk Islam di Indonesia sebanyak 87,18%. Dari mayoritas mutlak ini, apakah wajar,
jika muslim menghendaki pemimpin muslim di negeri ini? Tentu sangat wajar dan
masuk akal.
Perjuangan untuk mewujudkan hal
tersebut, tentunya harus melalui proses konstitusi. Ketika keinginan tersebut
sudah terwujud dalam konstitusi, semua warga Negara harus patuh mengikutinya. Perjuangan
di luar konstitusi dipastikan menimbulkan kegaduhan, bahkan resiko ketegangan
antar warga Negara.
Konstitusi bukanlah kitab yang
menjelaskan kebenaran absolut, namun berisi kesepakatan politik. Karena merupakan kesepakatan, tentu saja ada
celah bagi kelompok mayoritas untuk mengajukannya. Proses pembuatan kesepakatan merupakan proses take and give. Sejauh mana take and give berlangsung, disitulah
kesepakatan akan terjadi.
Faktanya, konstitusi Negara Indonesia
tidak membatasi pemimpin berdasarkan agama maupun etnis. Tentu saja, seorang
warga Negara dengan agama apa pun dan etnis apa pun, berhak menjadi pemimpin.
Itulah kesepakatan politik yang terjadi. Maka, apa pun dan bagaimana pun proses
pembentukan konstitusi tersebut, seluruh warga Negara semestinya mematuhinya.
Definisi Pemimpin
Kata pemimpin sangat sederhana.
Menurut awam, pemimpin adalah seseorang yang menjadi kepala dari sekumpulan orang.
Referensi lain menyebutkan, pemimpin adalah seseorang yang menggunakan
kemampuannya, sikapnya, nalurinya, dan ciri-ciri kepribadiannya yang mampu
menciptakan suatu keadaan, sehingga orang lain yang dipimpinnya dapat saling
bekerja sama untuk mencapai tujuan. Menurut Wikipedia, kepemimpinan adalah proses
memengaruhi atau memberi contoh oleh pemimpin kepada pengikutnya dalam upaya
mencapai tujuan organisasi.
Ada ribuan definisi pemimpin,
karenanya, penulis tidak akan membahas lebih lanjut. Faktanya, arti pemimpin
berbeda-beda dari jaman ke jaman, dari budaya satu dengan budaya lainnya, antar
wilayah satu dengan wilayah lainnya.
Makna dan kewenangan kholifah Islam
tentu berbeda dengan Kaisar Romawi. Makna dan kewenangan Raja Hayam Wuruk Majapahit
tentu berbeda dengan Raja Hamengkubuwono X Ngayogyokarto. Makna dan kewenangan
presiden tentu berbeda dengan perdana menteri. Lebih jauh, arti dan kewenangan
presiden tentu berbeda dengan gubernur, berbeda dengan walikota, berbeda dengan
camat, berbeda dengan lurah, berbeda dengan Ketua RW, Ketua RT dan tentu saja
kepala rumah tangga.
Hadis
Ghadir Khum menyebutkan kepemimpinan Imam Ali atas kaum muslimin. Namun, muslim
dunia menafsirkan berbeda terhadap makna kepemimpinan pada hadis tersebut.
Demikian juga dengan Al-Quran Surat An-Nisa ayat 34, yang menyebutkan
kepemimpinan kaum pria atas kaum wanita. Namun pada faktanya, muncul beberapa pemimpin
Negara mayoritas muslim dari kaum wanita, diantarnya Benazir Bhutto di Pakistan
dan Megawati di Indonesia.
Terkait
larangan pemimpin Yahudi dan Nasrani pada surat Al-Maidah ayat 51, apakah ayat
tersebut berlaku untuk presiden, gubernur, walikota, camat, lurah, Ketua RW
atau Ketua RT? Atau mungkin juga berlaku untuk CEO, GM, Manager, Supervisor di
suatu perusahaan? Faktanya, pemimpin tersebut tidak berkuasa mutlak sebagaimana
pemimpin pada jaman kholifah yang lalu. Pemimpin saat ini dibatasi oleh sistim
yang rigid dan cukup mapan. Berbagai pertanyaan tersebut pasti tersirat pada
sebagian muslim.
Bumi Terbuka untuk Semua
Penulis lahir di Jawa Tengah, sudah
pasti berhak tinggal, berkarya dan menjadi pemimpin di Jawa Tengah. Penulis
pernah hidup empat tahun di Bandung, tentu bersyukur karena rakyat Bandung
menerima dengan ramah. Pernah hidup enam tahun di Surabaya, Alhamdulillah diterima
dengan baik di sana. Bahkan pernah hidup tiga tahun di Makassar, lagi-lagi
mereka menerima dengan sangat terbuka. Saat ini penulis hidup di Jakarta, Alhamdulillah,
sepuluh tahun lebih masyarakat betawi menerima dan bekerjasama saling mendukung
di masjid perumahan.
Penulis sempat beberapa kali ke
luar negeri, bahkan sempat tinggal beberapa bulan di negeri orang. Sekali lagi,
Alhamdulillah, penduduk setempat menerima dan tidak mengisolasi kami. Ada
keinginan, suatu saat bisa tinggal lebih lama di luar negeri. Bahkan ada
keinginan, semoga suatu saat anak-anak bisa menjadi professional global, yang
bekerja di banyak Negara, tidak dibatasi oleh pulau, Negara, etnis, agama atau
apa pun.
Penulis meyakini, itulah masa
depan dunia yang cemerlang. Setiap orang berhak untuk tinggal dan memimpin di negeri
mana pun, sepanjang karyanya berharga, memberi manfaat dan kontribusinya
signifikan di tempat tersebut. Adalah naïf, jika seseorang bertahan di tempat
dia lahir, namun tidak memberi kontribusi apa pun pada tanah kelahirannya.
Jika setiap orang mempunyai hak
untuk tinggal di mana pun, maka konsekuensinya, penduduk setempat berkewajiban untuk
mengijinkan orang lain tinggal di tanah kelahirannya. Lebih lanjut, jika
pendatang menunjukkan komitmen dan kontribusi yang lebih baik dari penduduk
setempat, apa salahnya memberi kesempatan kepada pendatang untuk memimpin?
Bumi dicipta untuk semua makhluk.
Tidak hanya manusia yang berbeda agama dan etnis, bahkan hewan pun berhak untuk
menempati setiap jengkal di bumi ini. Tanah Jawa bukan milik suku Jawa, semua
agama, etnis berhak hidup di Jawa, bahkan hewan apa pun boleh hidup di dalamnya,
selama mengikuti aturan dan bisa hidup harmonis bersama.
Sesungguhnya praktek ini sudah
terjadi sejak lama. Berikut beberapa contoh nyata. Rosulullah SAW dan para
sahabat telah hijrah dan diterima di Madinah, bahkan memimpin seluruh suku di
Madinah. Beberapa walisongo berasal dari negeri seberang, namun mereka diterima
tinggal di tanah Jawa bahkan memimpin seluruh suku Jawa. Warga Inggris migrasi
ke Amerika dan Australia, yang sebelumnya ditempati oleh Indian dan Aborijin,
tapi akhirnya pendatang ini menguasai bahkan mengaku pribumi di tanah tersebut.
Singapore yang semula menjadi bagian tanah melayu, kini didominasi etnis China
yang telah mengaku sebagai pribumi.
Begitulah populasi dunia akan
terus bergerak sambil mencari keseimbangan dan harmonisasi. Namun demikian,
tidak bisa menutup mata, tidak semua orang berpandangan sama, sehingga
keseimbangan dan harmonisasi tidak selamanya berjalan baik. Mari kita lihat
faktanya saat ini.
Palestina terus berebut wilayah
dengan Israel. Palestina merasa pribumi, sementara Israel tidak mungkin meninggalkan
tanah yang menjadi tempat lahir dan membesarkannya. Bangsa Rohingya lahir dan
tumbuh di tanah Myanmar ratusan tahun, namun Pemerintah Myanmar tetap
menganggap sebagai imigran illegal. Presiden Donald Trump yang sebenarnya keturunan
Eropa, bukan keturunan Indian, mengakui sebagai penduduk pribumi Amerika, dan
melarang bangsa lain masuk ke wilayahnya.
Bagaimana dengan Indonesia? Semoga
Indonesia terbuka untuk semua suku, semua etnis dan semua agama. Agar bangsa
Indonesia juga diijinkan untuk tinggal dan berkarya di belahan bumi mana pun. Yang
terpenting adalah, setiap orang mampu berkarya, berkontribusi dan memberi manfaat
untuk lingkungan dan makhluk seluruhnya.
Seorang patriot adalah mereka yang mengharumkan nama bangsa di hadapan bangsa lain. Seorang nasionalis adalah mereka yang memberi karya nyata untuk bangsanya.
Kesimpulan
Seorang patriot adalah mereka yang mengharumkan nama bangsa di hadapan bangsa lain. Seorang nasionalis adalah mereka yang memberi karya nyata untuk bangsanya.
Kesimpulan
Sebagai mayoritas mutlak, sangat wajar dan masuk akal, jika muslim Indonesia menghendaki pemimpin muslim. Namun sebaiknya hal tersebut dituangkan dalam konstitusi. Namun jika konstitusi menyebutkan lain, maka itulah kesepakatan, kita perlu menghormatinya.
Bumi terbuka untuk semua mahkluk, tidak pandang agama, etnis, spesies atau apa pun. Bukalah lebar untuk siapa saja, yang terbukti memiliki karya, jasa, dan komitmen.
* Catatan: artikel ini ditulis oleh muslim awam, bukan Ustadz apalagi Kyai. Setiap kesalahan, mungkin saja terjadi. Tulisan ini hanya ekspresi pemikiran dari hamba yang hobi menulis. Di publish paska pilkada, karena memang tidak dimaksudkan untuk dukung-mendukung calon gubernur DKI.
Komentar
Posting Komentar