Cuma IM3 Ooredoo Nelpon Rp
1/Detik
Telkomsel?
Gak Mungkin.
Bagai
mimpi di siang bolong. Tiada angin, tiada hujan, tiba-tiba muncul iklan
menohok. Inilah kali pertama, sepanjang sejarah industri seluler, sejak 1993, terjadi
serangan langsung dari operator kepada yang lain. Nggak tanggung-tanggung, yang
diserang adalah pemimpin pasar, dan penyerang adalah runner-up.
Meskipun
tidak setajam ini, pada periode tahun 2010-an, banyak operator saling serang,
namun pada umumnya sesama operator kecil, yang berebut pelanggan baru. Sedangkan
kali ini, obyek serangan adalah market
leader, dengan jumlah pelanggan 152,6 juta (2015), penguasa lebih dari 45%
market share. Wajar, jika banyak
pihak terkaget-kaget, menjadi topik hangat
media, dan mengundang minat penulis untuk ikut berkomentar.
Banyak
pihak menyebut iklan ini termasuk kategori kasar, melanggar etika umum, karena
menyebut secara langsung nama pesaing. Tentu hal ini menjadi materi kajian
lebih lanjut oleh institusi yang menjadi wasit periklanan nasional.
Kenapa
Indosat melakukan aksi kasar seperti ini? Penulis memperkirakan beberapa hal
sebagai berikut. Pertama, Indosat belum melihat celah untuk melawan dominasi
Telkomsel, terutama di area luar Jawa, dimana penguasaanya sudah di atas 75% market share.
Kedua,
Indosat sedang berinvestasi 4G di luar Jawa, namun karena sulit menembus pasar,
resiko ROI (return on investment)
semakin meningkat, hingga akhirnya manajemen menerima tekanan dari pemilik
saham. Apalagi, pada 3 tahun terakhir, Indosat melaporkan keuntungan negatif.
Ketiga,
upaya untuk mengurangi investasi dan biaya melalui network sharing, revisi biaya interkoneksi, alokasi pita frekuensi
dan lainnya, sering mendapat hambatan dari Telkomsel.
Keempat,
Telkomsel beserta seluruh mitra jaringan distribusinya, berupaya mempertahankan
dominasi pasar, dengan berbagai taktik lapangan. Diantara taktik lapangan yang
umum antara lain pembelian produk pesaing, tekanan tertentu kepada outlet yang
menjual produk pesaing, dominasi branding outlet bahkan menutup etalase pesaing,
dan sebagainya. Praktek semacam ini sangat umum terjadi, dan dilakukan hampir
semua operator, baik di Jawa maupun luar Jawa.
Dari
berbagai alasan tersebut, wajar jika mayoritas jajaran Indosat merasa frustasi
dengan Telkomsel. Namun, manajemen pusat tentu berpikir lebih luas, dan tidak
mungkin melakukan serangan kasar. Iklan di atas kemungkinan besar dilakukan
oleh pasukan di lapangan.
Pada
kondisi demikian, sulit bagi manajemen pusat untuk mengingkari apalagi
menyalahkan pasukan yang terlanjur tertangkap basah. Maka, terjadilah apa yang
sedang kita saksikan. CEO Indosat terus membela pasukan, terus menyerang
Telkomsel, bahkan mengajak operator lain.
CEO
Indosat nampaknya sedang bermain dengan opini publik, berharap mendapat dukungan,
dan beroleh keuntungan darinya. Namun sampai hari ini, harapan tersebut belum
terjadi, karena publik, terutama para pengamat dan analis justru berpandangan
berbeda.
Dominasi Telkomsel
Telkomsel
didirikan Telkom pada tahun 1995 dan menjadi bagian dari perusahaan BUMN
tersebut. Di saat itu, industri seluler bukanlah industri cantik yang memikat
para investor. Karena sebelumnya industri ini ditopang oleh teknologi AMPS dan
CDMA yang pada akhirnya gagal di pasar, dan membuat pemilik modal tidak
tertarik berinvestasi.
Berada
di tangan Telkom, anak usaha yang baru terbentuk ini tidak ciut dan ragu.
Telkomsel terus membangun jaringan ke seluruh pelosok negeri. Dengan berpegang
teguh mengemban misi sebagai agen pembangunan dan pilar industri seluler nasional,
Telkomsel tanpa henti membangun BTS, tidak menghiraukan mana daerah miskin dan
gemuk, seakan tidak mengenal ROI. Dan sampailah sekarang, grup perusahaan plat
merah ini memiliki 103,3 ribu BTS (2015) di seantero nusantara.
Sekitar
tahun 2005, industri seluler mulai terlihat molek, laba Telkomsel mulai
bersemi, banyak investor mulai kepincut dan ramai berinvestasi. Namun dengan
pertimbangan modal, profitabilitas dan kompleksitas teritori, hampir semua
investor hanya bermain di daerah gemuk. Wajar, jika periode 2008 – 2012,
industri diwarnai persaingan yang amat sengit, khususnya di area makmur.
Sementara, di daerah pelosok, Telkomsel praktis bermain sendirian, hingga
akhirnya mendominasi industri sampai saat ini.
Maka,
kurang tepat jika dominasi Telkomsel saat ini diartikan sebagai bagian dari
monopoli. Karena agresifitas Telkomsel membangun jaringan ke seluruh negeri
lebih didasari oleh misi BUMN membangun bangsa. Sedangkan taktik pemasaran di
lapangan, yang terkadang terlihat curang, sebenarnya sudah menjadi praktek umum
sejak tahun 2005 lalu, yang dilakukan oleh hampir semua operator.
Tak Perlu Genderang
Perang
Indosat
tidak perlu menabuh genderang perang kepada Telkomsel. Apalagi secara terbuka
mengajak operator lain. Karena praktek ini tidak lazim, menggambarkan iklim
industri yang kurang kondusif, bahkan berseberangan dengan semangat
Kemenkominfo.
Peperangan
keras sebetulnya telah terjadi sejak tahun 2008 lalu. Dan karena peperangan
tersebut, sebagian operator menuai keuntungan minus, bahkan sekarat. Hanya tiga
operator yang membukukan profit positif, dan hanya Telkomsel yang mencatat
pertumbuhan keuntungan yang relatif stabil.
Berikut
potret keuntungan tiga operator terbesar. Keuntungan Telkomsel pada tahun 2011
sebesar RP. 12,8 triliun, tahun berikutnya tercatat Rp. 15,7; Rp. 17,3; Rp.
19,4 triliun, dan pada tahun 2015 dibukukan sebesar Rp. 22.4 triliun rupiah. Sedangkan
Indosat mencatat keuntungan 5 tahun berturut-turut sejak 2011 sebagai berikut: Rp.
1,1; Rp. 0,5; Rp. -2,7; Rp. -1,8; dan Rp. -1,2 triliun. Sementara XL berhasil
membukukan keuntungan 5 tahun berurutan Rp. 2,8; Rp. 2,7; Rp. 1,1; Rp. -0,9; dan
Rp. 0,008 triliun.
Karena
hal itulah, belakangan ini Menkominfo sangat mendorong konsolidasi operator,
dengan tujuan agar operator memperoleh keuntungan yang masuk akal dan pada
akhirnya industri seluler nasional semakin sehat. Pada kondisi ini, semua pihak
akan diuntungkan, baik regulator, operator dan khususnya adalah masyakarat
pengguna seluler.
Jika
Indosat memegang visi ingin membangun industri seluler yang kuat, sehat dan
berkeadilan, langkah yang seharusnya dilakukan adalah berinvestasi dalam jumlah
besar. Mengingat, dalam 3 tahun terakhir, aset Indosat praktis tidak bertumbuh,
yaitu Rp. 54,6; Rp. 53,3; dan Rp. 55,4 triliun. Padahal, industri seluler saat
ini sedang berevolusi sangat cepat dan lapar modal. Berikut penjelasanya.
Pertama,
kebutuhan membangun jaringan ke seluruh negeri, mendampingi Telkomsel, atau
bahkan menutup daerah yang masih blankspot.
Masih ada sekitar 2-5 % wilayah negeri ini yang belum terjangkau sinyal GSM.
Kedua,
migrasi teknologi 3G menuju 4G baru saja dimulai tahun ini. Butuh modal besar
untuk membangun ekosistem 4G yang mapan di negeri ini. Ekosistem 4G diperlukan
untuk mendukung target dan mimpi Kemenkominfo, seperti The largest digital economy in the region, nilai e-commerce tembus
USD 130 miliar dan mencetak 1.000 startup.
Ketiga,
antisipasi 5G. Teknologi 5G sudah banyak di uji coba di Negara maju, dan
direncanakan komersial tahun 2020. Jika tahun 2022 sudah diadopsi Negara ini,
berarti hanya tersisa waktu 6 tahun untuk penetrasi 4G, membangun ekosistem dan
mencetak ROI yang menggembirakan.
Keempat,
mencari peluang baru untuk mempertahankan pendapatan. Tidak diragukan lagi,
saat ini operator seluler dalam posisi galau. Operator butuh modal besar untuk
membangun jaringan data, sementara pertumbuhan pendapatan dari sektor data relatif
lambat. Kontributor utama pendapatan justru masih dari panggilan suara dan SMS.
Lebih tidak adil lagi, ternyata yang menikmati pendapatan besar dari jaringan
data adalah para pemain OTT (over the top)
yang tidak memiliki jaringan, seperti facebook google, dan netflix.
Dari
penjelasan di atas, disarankan agar Indosat fokus kepada penambahan CAPEX (capital expenditure), agar bersama
dengan Telkomsel dan semua operator, mampu membangun industri seluler negeri
ini yang masih jauh tertinggal dari Negara tetangga. Dominasi Telkomsel agar
tidak dilihat sebagai ancaman dan hambatan, namun sebagai donasi dari grup perusahaan
BUMN kepada negeri ini, yang patut disyukuri dan diapresiasi.
Selamat
berpuasa, mari bersama-sama membangun bangsa.
Artikel ini sudah di muat oleh Detik.com tanggal 29 Juni 2016.
BalasHapusBerikut link artikelnya: http://inet.detik.com/read/2016/06/29/105958/3244635/328/tak-perlu-genderang-perang-di-jagat-seluler
Berikut versi PDF: https://dl.dropboxusercontent.com/u/55331858/article/publish/20160629_detikcom_Tak_Perlu_Genderang_Perang_di_Jagat_Seluler.pdf