Jika
tujuan akhir smart city adalah memastikan pertumbuhan yang berkelanjutan dan
membuat warga kota lebih bahagia dan terpuaskan, maka smart city harus
mengadopsi dan mengembangkan teknologi yang memanfaatkan keterampilan dan
pengetahuan warganya, yaitu dengan mendefinisikan kembali smart city sebagai people-centred smart cities, atau smart
cities 2.0.
Hackathon
Merdeka 2.0, yang diselenggarakan minggu lalu di 28 kota, merupakan embrio smart cities 2.0, sekaligus
sebagai cara cerdas melibatkan dan memanfaatkan kreatifitas dan ketrampilan
warga untuk menyelesaikan problematika kota yang mereka hadapi setiap hari.
Smart Cities 2.0
Setelah
dua dekade berjalan, gelombang smart city menggelinding semakin besar. Ribuan
kota di dunia telah berkomitmen merancang smart city. China merencanakan 193
kota, sementara India menyebut 100. Smart Cities World Forum memprediksi akan
muncul lebih dari 50 ribu smart cities, tidak hanya di Negara besar, namun semua
benua, termasuk Indonesia.
Namun
demikian, menurut definisi dan kriteria IHS, jumlah smart city di dunia baru ada
21 di tahun 2013 dan akan bertambah menjadi 88 kota pada tahun 2025. Sebanyak
32 kota di kawasan Asia pasifik, 31 di Eropa dan sisanya di Amerika.
Juniper
Research melaporkan lima smart cities terbaik dunia tahun 2015. Barcelona menempati
peringkat satu, disusul peringkat berikutnya secara berurutan adalah New York
City, London, Nice, dan Singapore.
Peringkat
smart city memang bukan harga mati, karena tergantung kepada kriteria yang
ditetapkan. Smarcityexpo misalnya, punya kreteria tersendiri dalam menetapkan
peringkat. Daftar smart city versinya jauh berbeda dengan laporan di atas.
Tahun lalu, Smartcityexpo menetapkan Tel Aviv sebagai smart city terbaik.
Sedangkan lima nominasi lainnya adalah A Coruna, Hengshui, Mumbai, Porto
Alegre, dan Rivas Vacaiamadrid.
Proyek
smart city sering menjadi ajang kompetisi dan gengsi bagi para pemerintah kota,
termasuk para walikota di Indonesia. Meskipun manfaatnya sangat besar,
investasi smart city tidaklah murah.
IHS
menghitung investasi tahunan mencapai $ 1 miliar pada 2013 dan lebih dari $ 12
miliar pada 2025. Bahkan, menurut World Finance, proyek Smart City di Songdo
Korea Selatan telah menghabiskan $ 40 miliar. Secara global, Arup memperkirakan
pasar smart city pada 2020 mencapai $ 408 miliar.
Sebagai
ajang persaingan yang prestisius, seringkali arah pengembangan smart city tidak
tepat sasaran, karena terlalu menekankan pada penyediaan hardware yang mahal. Padahal pengembangan smart city bisa lebih
murah dengan memanfaatkan teknologi internet untuk memenuhi kebutuhan yang
betul-betul dirasakan oleh warga kota.
Sebagai
contoh, seberapa banyak orang yang benar-benar membutuhkan kulkas yang dapat memberitahu
mereka ketika stok makanan habis? Tentu lebih faktual dan hemat, seandainya
smart city membahas solusi kemacetan, banjir, kependudukan dan sejenisnya.
Dengan
cara pandang inilah, Nesta, sebuah organisasi amal di Inggris yang mendorong
inovasi global untuk kehidupan yang lebih baik, mengenalkan konsep smart cities
2.0, sebagaimana diterbitkan dalam buku cetakan Juni 2015, dengan judul Rethinking Smart Cities from the Ground Up.
Smart
Cities 2.0 diterjemahkan sebagai people-centred
smart cities, yaitu smart cities yang memanfaatkan keterampilan dan
pengetahuan warganya. Dengan konsep ini, smart cities memerlukan keterlibatan
warga, baik sebagai consumer, produser, prosumer termasuk juga co-creator.
Bagaimana
suatu kota dapat secara efektif memanfaatkan kekuatan warganya untuk mewujudkan
smart city melalui teknologi digital? Nesta menyampaikan empat metode yang
membantu pemerintah kota melakukan hal itu.
Pertama,
The collaborative economy.
Menghubungkan orang-orang atau kelompok untuk memanfaatkan sumber daya yang
terbatas secara bersama-sama, dengan dukungan internet dan teknologi digital.
Contoh
dari metode ini adalah @nebengers. Akun twitter ini mempunyai follower 88 ribu,
tidak hanya di Jakarta namun sudah meluas ke kota lain. Setiap hari aktif
dengan cuitan anggotanya yang menawarkan atau mencari tebengan. Saat ini @nebengers
sudah berkembang ke situs nebengers.com, bahkan telah menyediakan aplikasi
Android dan iOS.
Amsterdam
dikenal sukses menerapkan metode ini. Warga kota telah terbiasa menggunakan
aplikasi kolaborasi untuk berbagi sumber daya. Ketika butuh sewa mobil ke
teman, mereka menggunakan Snappcar. Jika ingin mengerjakan pengeboran kecil di
rumah tapi tidak mau membeli alat bor, cukup pinjam dari tetangga, gunakan
aplikasi Peerby. Ingin mencari tetangga yang bisa mengajari bahasa asing,
gunakan Konnektid, dan seterusnya.
Kedua,
Crowdsourcing data. Warga dapat
memanfaatkan sensor murah untuk membuat crowdsourced
maps dari lingkungan mereka sendiri. Sementara pemerintah dapat mengambil crowdsource data dari media sosial dan
sensor pada smartphone yang dipakai warganya.
Jakarta
sudah menerapkan metode ini, dengan pelucuran aplikasi Qlue pada Desember tahun
lalu. Melalui aplikasi Qlue, pemerintah dapat mengambil crowdsource data dari warganya secara realtime. Qlue bisa di
install dari Google PlayStore, dengan deskripsi “Qlue bertugas untuk memastikan
seluruh keluhan yang anda upload di dengar oleh pihak pemerintah dan swasta.
Kami akan memastikan keluhan tersebut ditindaklanjuti”.
Contoh
lain yang sudah dinikmati warga Jakarta adalah PetaJakarta. Hasil karya bersama
pemerintah kota Jakarta dan University of Wollongong Australia ini, disiapkan
untuk membantu warganya memetakan lokasi banjir. Aplikasi ini dapat di akses
melalui http://petajakarta.org/banjir/in/ dengan deskripsi “PetaJakarta
adalah platform open source berbasis
masyarakat untuk mengumpulkan dan menyebarkan informasi tentang banjir dan
infrastruktur air utama di Jakarta”.
Dengan
lebih dari satu juta pengguna aktif bulanan, kehadiran Google Waze di Jakarta
sangat membantu warganya menyiasati kemacetan kota yang konon terburuk di
dunia. Google Waze dan Google Maps menjadi salah satu crowdsource data penting untuk masyarakat di seluruh dunia.
Ketiga,
Collective intelligence. Pengambilan keputusan memang
seharusnya diserahkan kepada para ahli. Namun demikian, warga yang telah
bertahun-tahun menghuni kota, juga mengetahui banyak hal tentang apa yang
dibutuhkan kotanya. Dengan internet dan teknologi digital, sangat dimungkinkan
melibatkan warga dalam proses pembuatan kebijakan kota, perencanaan,
penganggaran dan seterusnya. Dengan cara ini, diharapkan keputusan menjadi
lebih cerdas dan demokratis.
Next
Bangalore adalah sebuah inisiatif yang diselenggarakan oleh MOD Institute untuk
melibatkan warga dalam membuat visi bersama, menyediakan ajang debat, dan menangkap
hal-hal penting yang dibutuhkan warga terhadap kotanya. Contoh lain adalah
inisiatif walikota Paris, Anne Hidalgo yang menyediakan aplikasi “Madame Mayor,
I have an idea”. Dan masih banyak lagi, seperti di Estonia dan Brasil.
Keempat,
Crowdfunding. Warga terhubung satu sama lain
secara online untuk bersama-sama memikirkan dan mendanai proyek-proyek yang
diusulkan warga lainnya. Sementara pemerintah dapat memanfaatkan crowdfunding untuk membuat keputusan
belanja yang lebih akurat.
Contoh
crowdfunding global terkemuka adalah
Kickstarter dan Indiegogo. Keduanya menawarkan pembiayaan untuk proyek dan
perencanaan bisnis yang memenuhi kriteria yang mereka tetapkan.
Hackathon Merdeka 2.0
Hackathon
adalah suatu kegiatan di mana para programmer
komputer dan personel lain yang terkait dengan pengembangan software dan hardware, berkolaborasi secara intensif pada suatu proyek pengembangan
software, yang biasanya berjangka
waktu pendek, beberapa jam atau beberapa hari, dan umumnya diperlombakan.
Istilah
yang sering dikonotasikan dengan hacker
tersebut, pertama kali dipakai pada tahun 1999 oleh para pekerja pembuat
software Sun. Pada akhir tahun 2000, istilah ini mulai menyebar ke berbagai
penjuru dunia. Beberapa tahun terakhir, kata hackathon semakin beken dan kerap menjadi trending topic.
Kegiatan
hackathon terkadang hanya bersifat sesaat, namun banyak juga yang menjadi komunitas permanen. Beberapa komunitas
hackathon global yang terkemuka antara lain Major League Hacking (MLH),
NYHackathons, Nodeknockout, f3mhack dan masih banyak lagi.
Hackathon
Merdeka 2.0 diselenggarakan tanggal 24-25 Oktober di 28 kota Indonesia dan
Australia. Kegiatan yang dipelopori oleh Ainun Najib bersama code4nation ini
didukung sepenuhnya oleh Kemenkominfo dan Telkom. Panitia mengklaim, kegiatan
ini diikuti oleh sekitar 1.700 anggota. Semua peserta berlomba menunjukan
kreatifitas menciptakan aplikasi bertema kependudukan.
Kegiatan
dengan tujuan serupa juga diselenggarakan oleh Telkomsel, dengan tajuk The
NextDev dan Indosat, dengan nama Indosat
Wireless Innovation Contest atau disingkat IWIC.
Hackathon
Merdeka 2.0 adalah embrio nyata dari konsep smart cities 2.0. Kegiatan para programmer ini bisa menjadi pijakan
untuk menjalankan empat metode Nesta yang telah disebutkan di atas.
Langkah
kedua yang diperlukan untuk mewujudkan smart cities 2.0 adalah menjadikan kegiatan
ini lebih permanen, terkendali dan
termonitor hasilnya. Salah satu bentuknya adalah laboratorium inovasi sipil.
Telkom
telah merintis laboratorium semacam ini dengan membentuk puluhan Digital Valley
di berbagai kota besar. Sementara, Ridwal Kamil juga telah menyatakan
semangatnya mengumpulkan puluhan anak kreatif untuk menciptakan seribu aplikasi
buat kota Bandung.
Namun
demikian, kegiatan ini masih jauh dari cukup untuk mendorong smart cities 2.0
di Indonesia. Pemerintah perlu menunjukkan dukungan dan langkah kongkret, agar
kegiatan ini terselenggara secara masif di seluruh penjuru nusantara. Sekaligus
menjadi aksi nyata pemerintah untuk mengejar visi ekonomi digital yang telah
dicanangkan.
Langkah
berikutnya adalah penyediaan open data
dan open platform, untuk memobilisasi
kemampuan kolektif warga, dan khususnya para anggota hackathon. Pemerintah
perlu membagi data untuk warga dan menyediakan platform agar data tersebut dapat diakses dengan mudah oleh warga
untuk berbagai kepentingan. Salah satu contoh adalah New York Open Data, https://nycopendata.socrata.com/
Langkah
terakhir, namun sebetulnya menjadi langkah paling penting adalah investasi smart people, membentuk budaya kota yang
relevan, dan percepatan penetrasi smartphone,
serta percepatan broadband.
Artikel ini sudah dimuat di Detik[dot]com tanggal 2 November 2015.
BalasHapusBerikut link artikel: http://inet.detik.com/read/2015/11/02/065710/3059270/398/smart-city-20-tak-sekadar-teknologi-mahal?i992202105
Berikut arsip versi pdf: https://www.dropbox.com/s/yp7nrtyi0i21uvf/20151102_Detikcom_SmartCity2.0_Tak_Sekadar_Teknologi_Mahal.pdf?dl=0