Hanoi design supports healthy lifestyle. Demikian judul artikel opini harian The Jakarta Post tanggal 6 Juni 2015, yang ditulis oleh Tri Harso Karyono, profesor arsitektur di Universitas Tanri Abeng Jakarta.
Karyono membandingkan bahwa harapan hidup di Hanoi lebih tinggi dari Indonesia. Sementara, tingkat konsumsi sumber daya (diukur dengan ratio ecological footprints - EF) jauh lebih kecil. Yang lebih menarik, jumlah turis per seribu penduduk di Hanoi lebih tinggi dari Jakarta.
Apa yang membuat Hanoi mencapai prestasi tersebut? Rakyat Hanoi menjalani kehidupan yang dekat dengan alam, dan pemerintah telah membuat perencanaan kota yang serupa. Mereka sedikit sekali menggunakan alat mekanik. Mereka belanja di pasar rakyat, bukan di mall dan shoping center. Pejalan kaki dimanjakan, tidak perlu pakai motor atau mobil menuju tempat bekerja. Pemerintah banyak membangun taman dan waduk untuk tempat umum. Disediakan banyak tempat olahraga umum, tidak perlu ke Gym.
Pemerintah tetap mempertahankan situs dan bangunan bersejarah. Membiarkan jalan-jalan tetap sempit seperti semula. Membiarkan moda transportasi kuno tetap beroperasi. Namun pada sisi lain, mereka merancang sistim transportasi umum yang cukup modern.
Saya tertarik dengan artikel tersebut, karena sebulan yang lalu saya sempat ke Hanoi dan menulis artikel, yang mana saya menyebut, bahwa Hanoi serupa dengan Jogja. Ya, dalam banyak hal, Hanoi memang mirip Jogja.
Dengan membaca tulisan Karyono, saya jadi berpikir, seandainya saja kota Jogja di rancang seperti kota Hanoi, sepertinya Jogja akan menjadi kota yang jauh lebih baik. Tidak ada salahnya menjadikan kota Hanoi, kota di negeri yang tidak lebih maju dari Indonesia, sebagai kota benchmark. Karena faktanya, Hanoi telah mencapai prestasi yang sangat baik. Apalagi, secara kultural rakyat Hanoi memiliki banyak kemiripan dengan masyarakat Jogja.
Jogja, kota yang menjadi tujuan mudik keluarga saya setiap lebaran, yang kudambakan adalah Jogja yang tidak perlu memperluas jalan-jalan kota dengan berbagai penggusuran. Tidak perlu membangun banyak mall dan gedung bertingkat tinggi. Tidak perlu menghapus delman dan sepeda onthel. Jogja adalah kota yang mempertahankan ke-kuno-annya.
Hanoi dan banyak negara di Eropa telah berhasil mempertahankan ke-kuno-an, namun pada saat yang sama, mereka mampu merancang kota sesuai kebutuhan penduduknya yang makin membludak. Tentu butuh konsep, komitmen, konsistensi pemerintah, dan tentu saja dukungan penduduk.
Komentar
Posting Komentar