Hari ini adalah hari pertama Kampanye untuk pemilu 2014. Sebulan ke depan pastinya negeri ini akan lebih seru. Yang pasti akan terlihat antara lain berderetnya poster dan billboard di sepanjang jalan. Munculnya rangkaian iklan di televisi dan media lain. Juga transaksi uang oleh para makelar dan cukong.
Saya bukan orang politik. Tidak akan bahas perpolitikan negeri ini. Namun, dari dunia politik, saya menangkap banyak hal yang sangat bermanfaat untuk memahami kehidupan sosial, khususnya di negeri tercinta ini.
Berikut adalah beberapa diantaranya.
Tekad Kuat Pantang Menyerah
Jujur saya salut kepada Wiranto, Prabowo, juga Megawati.
Setahu saya, Wiranto sudah nyalon dua kali, yaitu 2004 dan 2009. Dan tahun ini beliau nyalon untuk ketiga kalinya. Keputusan untuk nyalon bukanlah keputusan ringan. Sederet konsekuensi dan resiko menyertainya. Namun Wiranto tidak minder, jera, putus asa. Dia justru semakin berani dan percaya diri, meskipun saat ini dia harus berhadapan dengan Jokowi yang selalu unggul di sejumlah survei.
Mental seperti itulah yang menjadi inspirasi besar bagi saya. Tekad besar, tanpa kenal menyerah apalagi putus asa.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Prabowo dan Megawati. Kali ini mungkin menjadi pancalonan Prabowo yang kedua. Sedangkan Megawati, meskipun tahun ini tidak nyalon, sebelumnya dia telah mengikuti kompetisi berulang kali tanpa kemenangan.
Mungkin karena karakter yang kuat seperti itulah, mereka menjadi orang besar dan sukses.
Kemampuan tidak Selalu Lurus dengan Kesuksesan
Memang Jokowi sukses membawa perubahan, namun dalam pandanganku nilainya biasa saja, tidak terlalu istimewa. Namun karirnya sungguh luar biasa. Menjadi Gubernur Jakarta hanya setahun lebih, langsung nyalon Presiden.
Banyak pribadi yang kemampuannya jauh lebih mengesankan, namun karirnya tidak secepat kemampuannya. Terlalu banyak untuk disebut namanya, siapa saja mereka.
Sebaliknya, beberapa orang berusaha keras mendapatkan elektabilitas, namun tidak kunjung diperoleh. Abu Rizal Bakrie adalah contohnya.
Pelajaran yang dapat saya serap adalah, karir dan sukses tidak selalau lurus dengan kemampuan dan kinerja. Elektabilitas (daya pilih) lebih banyak didominasi oleh faktor emosional, ketimbang rasional. Sama saja, apakah daya pilih (elektabilitas) oleh publik atau pun oleh atasan.
Jadi, kemampuan dan kinerja hanyalah menjadi syarat, selebihnya adalah daya pilih atau elektabilitas. Sukses dan karir ditentukan oleh elektabilitas seseorang.
Presiden Bukan Pilihan Rakyat
Terpilihnya SBY dua periode dan terpilihnya Gubernur serta Bupati di berbagai wilayah, sebetulnya bukanlah pilihan rakyat. Mereka adalah pilihan beberapa kelompok orang yang mampu menguasai rakyat.
Apa maksudnya? Berikut penjelasannya.
Sebetulnya rakyat kebanyakan tidak tahu betul, siapa yang mereka pilih. Mereka tidak pernah bertemu, mendengar ucapan, bahkan mungkin tidak pernah tahu sama sekali pikiran orang yang dipilihnya. Mereka hanya tahu dari pihak ketiga. Mungkin cerita para juru kampanye, cerita tetangga dan paling dahsyat adalah arus berita dan iklan dari media.
Sebetulnya terlalu sedikit informasi yang didapatkan rakyat, karena kebanyakan adalah berita hoak dan iklan semata. Selanjutnya, hanya dengan modal itulah rakyat memutuskan untuk memilih.
Siapakah yang menciptakan berita, hoak, iklan? Dialah sekelompok orang yang sebetulnya mampu menguasai rakyat. Maka, dialah sebetulnya yang memilih dan menempatkan jabatan Presiden.
Betulkah demikian? iya. Saya meyakini sebuah konsep Piramida Rakyat. Piramida berbentuk segitiga sama kaki, dimana sisi bawah paling lebar, sedangkan sisi atas berbentuk sebuah titik.
Titik diatas adalah pimpinan tertinggi rakyat. Sedangkan sisi bawah adalah rakyat kebanyakan. Diantaranya ada garis-garis horisontal yang menghubungkan dua sisi kaki. Garis-garis tersebut adalah pimpinan-pimpinan di tingkat bawah, atau grass root.
Sebetulnya rakyat hanya mengenal pimpinan dikomunitasnya. Jika diperkampungan, mereka hanya mengenal Ketua RT, atau RW atau Lurah. Itulah komunitas mereka, berbasis wilayah.
Sedangkan orang kota, mungkin berbeda. Mereka tidak mengenal tetangga, apalagi RT dan RW. Tapi mereka mengenal baik pimpinan komunitas yang digelutinya. Seperti pimpinan perusahaan, komunitas profesi, agama, komunitas hobi dan seterusnya.
Merekalah sebetulnya yang layak di pilih oleh rakyat kebanyakan. Selanjutnya pimpinan grass root tersebut memilih pimpinan di atasnya, berikutnya memilih di atasnya. demikian seterusnya sampai terpilih pimpinan tertinggi.
Demikianlah Piramida Rakyat dan mekanisme pemilihan pimpinan yang lebih rasional. Saya meyakini sistim ini jauh lebih baik dari demokrasi, khususnya pemilihan presiden langsung oleh rakyat.
Bagaimana dengan demokrasi, yang mengikuti pemilihan langsung oleh rakyat?
Sistim demokrasi sebetulnya sudah ada sejak jaman Romawi Yunani. Namun sistim ini baru menguat sejak dominannya kekuasaan dunia barat, Eropa dan Amerika. Karena pengaruh dunia barat, sistim ini dianggap menjadi yang terbaik saat ini, dan diadopsi oleh kebanyakan
negara. Indonesia sudah sekitar 15 tahun mengikuti sistim ini. Timur Tengah baru saja mulai.
Saya meyakini sistim demokrasi bukanlah yang terbaik. Dan karenanya sistim ini akan berubah suatu saat nanti. Kapan saatnya tiba? Hanya Tuhan yang tahu.
thanks for sharing this article
BalasHapus