"Setelah
melalui evaluasi menyeluruh tentang bagaimana memaksimalkan nilai kepada pemegang
saham, termasuk pertimbangan terhadap berbagai alternatif, kami percaya
transaksi ini adalah jalan terbaik ke depan untuk Nokia dan pemegang saham," demikian terjemahan
pernyataan Risto Siilasmaa, CEO interim Nokia sebagaimana dikutip Cellular-news.com
(3/9/13).
Pernyataan di atas menjadi klimak
atas transaksi penjualan divisi ponsel Nokia senilai EUR5.44 billion kepada
Microsoft. Meskipun sudah diperkirakan banyak analis, tetap saja kabar tersebut
mencengangkan dunia, lebih-lebih lagi bagi rakyat Finlandia. Wajar jika mereka
lebih emosional menyikapi transaksi bisnis tersebut.
Gelar raja ponsel memang layak disandang
Nokia. Mendominasi pasar ponsel global selama 14 tahun. Menguasai sekitar 40%
pangsa pasar sampai tahun 2007. Mengantongi rekor sepanjang masa dengan angka penjualan
Nokia-1100 yang menembus 250 juta unit.
Namun semuanya telah menjadi
sejarah. Faktanya, inovasi Nokia mulai tumpul sejak kemunculan iPhone tahun 2007.
Jaringan distribusi Nokia mulai goyah sejak agresi Samsung Galaxy tahun 2009. Gelar
raja ponsel Nokia diambil Samsung tahun 2012. Dan akhirnya, Nokia jatuh ke
tangan Microsoft pada September 2013.
Nokia tidak sendirian. Nama-nama
besar seperti Motorolla, Erricson dan Palm sudah tidak lagi ramai di pasar
ponsel. Bahkan, saat ini publik sedang cemas menunggu nasib Blackberry, yang telah
membentuk komite khusus untuk menentukan masa depan perusahaan. Tidak hanya
produsen gadget, raja internet seperti Yahoo dan Microsoft pun sebetulnya
sedang menghadapi masalah sulit, karena produknya belum mendapat respon pasar
yang memadai.
Apa yang menarik dari drama Nokia
? Kisah Nokia menunjukkan fenomena yang perlu dicermati, tidak hanya untuk
urusan gadget, namun untuk keseluruhan industri telko.
Tiga Fenomena
Pertama, pasar yang besar dan bertumbuh.
Pengguna ponsel global telah menembus angka 6,4 miliar dan diperkirakan oleh Strategy Analytics akan tumbuh sekitar 4
% per tahun. Sedangkan pengguna internet, sebagaimana diungkap oleh ajang D11 Conference telah mencapai 2,4 miliar
dengan pertumbuhan 8 % per tahun. Dalam pasar yang sangat besar dan bertumbuh,
wajar jika banyak pihak tertarik untuk ikut bermain.
Kedua, siklus teknologi pendek.
Teknologi ponsel pertama kali dikenalkan tahun 1973. Berselang lima tahun
muncul teknologi AMPS dengan sebutan 1G. Tahun 1991, jaringan GSM pertama di
dunia diluncurkan di Finlandia, yang selajutnya disebut 2G. Sedangkan internet
ponsel diperkenalkan tahun 1999 oleh NTT DoCoMo. Dua tahun berikutnya NTT
DoCoMo meluncurkan jaringan 3G. Teknologi paling gres, 4G diluncurkan tahun
2009 dengan dengan standar WiMAX dan LTE.
Teknologi baru selalu muncul
dalam kurun 5-10 tahun. Dengan waktu yang sangat pendek, pemain harus berani
memilih dan menempatkan investasi dalam jumlah besar. Pemain dituntut menyiapkan
infrastruktur atau membangun jaringan secepat mungkin. Selanjutnya melakukan
penetrasi pasar secara luas untuk mencapai skala ekonomi yang memadai. Kecepatan
dan kekuatan finansial menjadi penting untuk bertahan atau menjadi pemenang.
Ketiga, konvergen Vs divergen. Industri
telko sangat dinamis, masing-masing lini industri bisa bergabung atau justru berpisah
setiap waktu. PC dan ponsel bergabung dalam tablet. Internet dan televisi
bergabung dalam IPTV. Remittance dan ponsel bergabung dalam e-Money. Dan
seterusnya.
Samsung memang konglomerasi
besar, namun lima tahun lalu namanya di industri ponsel bukanlah apa-apa. Berawal
dari merk Galaxy tahun 2009, kini Samsung telah bertengger di puncak kejayaan.
Apple memang telah dikenal luas di industri komputer, namun tidak di ponsel.
Sejak debut pertamanya tahun 2007, kini Apple telah menjadi raja ponsel mendampingi
Samsung. Microsoft memang telah menyandang nama besar di perangkat lunak, namun
tidak di ponsel. Sekarang, Microsoft mencoba peruntungan di dunia ponsel.
Dengan karakter industri
demikian, setiap pemain bisa saja menjadi mitra atau sebaliknya menjadi pesaing
mematikan di saat yang lain.
Telko Nasional
Industri telko nasional tidak
pernah lepas dari pengaruh global. Pertumbuhan tinggi, siklus pendek dan konvergensi
telah menjadikan industri ini terlihat sangat cantik, namun juga ganas. Jumlah
operator berlebih, sebagian mendulang untung dan sebagian lain menderita,
pertarungan harga sangat tajam, dan etika pelayanan sering dilupakan.
Badan Pusat Statistik (BPS)
melaporkan (7/6/13), nilai impor ponsel tahun 2012 sebesar US$ 2,5 miliar,
sementara nilai impor Januari – April 2013 sebesar US$ 731,9 juta. Diprediksi
oleh Ketua Asosiasi Importir Telepon Seluler Indonesia, tahun ini impor ponsel akan
tumbuh sekitar 18 %.
Sebagaimana kondisi global,
siklus teknologi dalam negeri juga sangat pendek. Seperti diketahui, saat ini Kemenkominfo
sedang menyelesaikan penataan blok 3G, namun pada saat yang sama banyak pihak
telah mendesak mereka untuk segera menerbitkan regulasi 4G.
Menyikapi konvergensi industri, beberapa
operator tidak lagi fokus pada satu produk, namun mendiversifikasi bahkan
cenderung menuju konglomerasi. Sebagai contoh, Telkom kini menggarap layanan
TIMES, yaitu telecommunication, information, media, edutainment dan services.
Raja Vs Jelata
Tiga fenomena di atas menjanjikan
peluang sekaligus ancaman. Tidak ada jaminan sang raja akan bertahan lama.
Sebaliknya, tidak tertutup kemungkinan sang jelata terus menderita. Siapakah
raja-raja yang terancam di negeri ini? Mari kita sebut pemain-pemain besar
sebagai raja.
Untuk operator ponsel, Telkomsel jelas
rajanya. Dengan pelanggan lebih dari 125 juta, anak usaha Telkom ini praktis
menguasai separo industri. Disusul Indosat dengan 55,9 juta dan XL 49,1 juta
pelanggan.
Majalah Marketeers edisi Maret
2013 menyebut tiga penyelenggara internet paling populer adalah Telkom Speedy,
Fastnet dan Indonet. Tiga merk smartphone terpopuler adalah Blackberry, Nokia
dan Samsung. Sedangkan portal berita paling diminati adalah Detik, Yahoo dan
Kompas.
Belajar dari kisah Nokia, sebaiknya
para raja tetap waspada. Tiga fenomena yang mendorong persaingan brutal bisa
membunuh setiap saat. Banyak tantangan yang harus dihadapi sang raja,
diantaranya tiga hal berikut.
Pertama, Long Term Evolution (LTE). Teknologi yang mampu mengirim data
dengan kecepatan ratusan mega ini bakal menjadi basis teknologi ponsel global
yang sangat populer. Teknologi ini tidak hanya mengubah lansekap persaingan ponsel,
namun berdampak juga terhadap persaingan internet, wifi dan televisi berbayar.
Kedua, Over The Top (OTT). Beberapa tahun terakhir, pemain OTT seperti
Google, Facebook, instan messaging sangat diminati publik. Pertumbuhan OTT yang
fantastis meresahkan operator karena hal berikut. Pertama, mengakibatkan lonjakan trafik data yang tajam sehingga
perlu tambahan investasi kapasitas jaringan. Kedua, menurunkan trafik voice dan SMS yang notabene adalah
sumber pendapatan utama operator. Ketiga, Operator tidak menerima pendapatan
langsung dari trafik OTT. Dengan kondisi demikian, tanpa langkah strategis yang
tepat, masa depan operator menjadi pertaruhan.
Ketiga, balon udara Wi-Fi. Google
sedang merintis proyek Google Loon, yaitu balon udara yang memancarkan Wi-Fi
untuk akses internet. Juni lalu, Loon telah melepas 30 balon di wilayah
Selandia Baru. Sementara di Indonesia, Kabupaten Klaten juga mencoba hal yang
sama pada Juli lalu, menempatkan balon di alun-alun kota untuk akses internet
rakyat. Jika proyek balon udara sukses sesuai harapan, harga koneksi internet semakin
murah. Tentu hal ini akan mengubah lansekap persaingan industri internet.
Akhirnya, semoga para raja khususnya yang telah menyumbang kontribusi positif kepada negeri ini tetap waspada, bertahan dan terus berjaya di kancah persaingan industri telko yang ganas. Sehingga kesedihan rakyat Finlandia tidak harus dirasakan Indonesia. Jaya telko, jaya Indonesia.
Artikel ini telah di muat Detik.com. klik link berikut untuk versi PDF:
BalasHapushttps://dl.dropboxusercontent.com/u/55331858/article/publish/130912_detikcom_Berkaca_dari_Nokia_%20Raja_Pun_Terjungkal.pdf