Kemacetan lalu lintas telah menjadi
menu wajib warga Jakarta. Bukannya membaik, tahun ini kemacetan semakin parah.
Tidak hanya di Jakarta, melainkan telah meluas di kota besar lainnya. Bahkan
kemacetan parah juga terjadi setiap hari di tol Cikampek dan jalur pantura.
Berbagai inisiatif pemerintah untuk mengurangi
kemacetan disikapi warga dengan pesimis, pasrah bahkan penolakan. Mungkin saja
karena warga tidak percaya lagi kepada pemerintah yang dianggap terlalu lambat
menyikapi hal ini. Sebut saja program MRT dan monorail yang tidak mulus sampai
saat ini.
Kenapa sampai demikian? Karena
pemerintah terlambat membaca angka penjualan sepeda motor yang lebih dari 7
juta per tahun dan mobil yang mencapai 1 juta per tahun, dan terus tumbuh dua
digit. Sementara pembangunan jalan baru dan tol jauh dari mencukupi. Dikutip
dari www.worldbank.org, total
jaringan jalan tercatat 477 ribu kilometer dan jumlah jalan tol yang terbangun
sejak 1978- 2010 baru sepanjang 742 Km.
Seperti halnya infrastruktur jalan
raya, LTE adalah infrastruktur broadband
yang boleh disebut sebagai jalan tol. Serupa dengan perencanaan pembangunan
jalan tol, penggelaran LTE memang sangat komplek, tentu tidak semudah 3G. Karenanya
butuh political decision dan komitmen
seluruh pihak termasuk operator, pengguna, BRTI, Kemenkominfo, dan kementrian
lain yang terkait.
Long Term Evolution
(LTE)
Long
Term Evolution (LTE)
adalah standar komunikasi data nirkabel dengan kecepatan tinggi yang berbasis
pada jaringan GSM/EDGE dan UMTS/HSPA. Secara teori teknologi ini mampu
mengunduh file dengan kecepatan 300 Mbps dan kecepatan unggah 75 Mbps.
LTE dikembangkan 3GPP, organisasi
penerbit standar teknologi GSM, dengan maksud untuk menjamin ketersinambungan
sistem 3G yang saat ini telah digunakan secara luas di seluruh dunia. Tentu
saja juga untuk memenuhi kebutuhan akses data yang semakin cepat dengan
kualitas yang semakin baik. LTE dipercaya bakal menjadi standar jaringan
seluler global, baik untuk GSM maupun CDMA.
LTE Indonesia Tahun
2018?
Sampai saat ini pemerintah belum menyampaikan
rencana jelas, kapan teknologi ini akan diterapkan. Pemerintah sedang fokus menyelesaikan
tender 3G dan menata ulang seluruh blok frekuensi tersebut. Pemerintah
beralasan kelambatan adopsi LTE disebabkan tidak tersedianya spektrum yang
sesuai. Spektrum 700 MHz yang dianggap ideal masih digunakan oleh televisi
analog dan baru bisa dimanfaatkan tahun 2018.
Selain karena spektrum, teknologi 3G
juga disebut belum dimanfaatkan secara maksimal. Lagipula, investasi LTE sangat
besar, sementara smartphone yang
mendukung LTE masih terbatas.
Karena hambatan tersebut, beberapa
pihak memandang keberadaan LTE saat ini belum urgent. Karenanya LTE bisa ditunda sampai 2018.
Pandangan tersebut amat spekulatif dan
beresiko. Adopsi LTE harus menjadi prioritas industri telko negeri ini. Tahun
2014 menjadi masa ideal implementasi LTE, paling tidak karena beberapa alasan
di bawah ini.
Sejarah Adopsi
Teknologi
Adopsi teknologi CDMA, GSM, 2G dan 3G
di Indonesia berkisar 4-6 tahun sejak teknologi tersebut komersial untuk
pertama kalinya. Sedangkan teknologi LTE telah diluncurkan secara komersial sejak
Desember 2009. Belajar dari sejarah
tersebut, tahun 2013-2015 merupakan masa ideal untuk adopsi LTE di Indonesia.
Kenapa ideal? Menunggu 4-6 tahun
dikatakan ideal, setidaknya karena alasan berikut. Pertama, tidak semua
teknologi baru diterima publik dan populer. Sebagai contoh teknologi WiMAX.
Meskipun teknologi ini lahir lebih dulu dan memiliki spesifikasi teknis yang
setara, namun tampaknya tidak akan berkembang karena kalah bersaing dengan LTE.
Kedua, butuh waktu untuk belajar. Indonesia bisa belajar dari implementasi LTE
di berbagai negara dengan berbagai frekuensi dan kondisi lapangan yang berbeda.
Ketiga, biaya mahal. Setiap teknologi baru, pada awalnya harga infrastruktur dan device-nya selalu mahal, namun perlahan akan turun. Keempat,
memberi kesempatan penetrasi kepada teknologi sebelumnya, 3G HSPA.
Adopsi Global
LTE komersial diluncurkan pertama kali
oleh Teliasonera di Stockholm dan Oslo pada Desember 2009. Sampai kuartal
pertama tahun ini, ABI Research melaporkan jumlah pengguna mencapai 108 juta.
IDATE memperkirakan jumlah pengguna bakal naik tajam, hingga mencapai 915 juta
pada akhir 2016 dan menyentuh satu miliar pada 2017.
LTE telah diadopsi oleh hampir seluruh
belahan dunia, lebih dari 90 negara. Tidak hanya di negara maju, namun telah
dinikmati banyak negara berkembang. Seperti Angola, Tanzania dan Namibia di
benua Afrika. Bahrain, Oman dan Libanon di belahan Timur Tengah. Serta Malaysia,
Thailand dan Philipina di Asia Tenggara.
Bahkan bulan lalu, SK Telecom Korea
Selatan membuat kejutan dengan meluncurkan LTE-Advanced komersial pertama di
dunia. Dalam dua minggu dilaporkan telah menjangkau Seoul dan 43 kota lainnya,
serta sukses menggaet 150 ribu pelanggan.
Jika saat ini negara berkembang dan
tetangga sudah menikmati, mampukah masyarakat Indonesia menunggu LTE sampai
2018?
Dukungan Gadget
Hampir semua produsen gadget global
telah menjual tablet dan smartphone dengan dukungan LTE. Sebut saja beberapa
merk populer seperti Apple iPhone 5,
Blackberry Z10 dan Samsung Galaxy S4. Juga seperti HTC One, LG Optimus G dan
Nokia Lumia 920. Bahkan termasuk merk lapis berikutnya seperti Windows Phone
X8, Sony Xperia V dan Asus PadFone 2.
Perusahaan riset IDC melaporkan pada
kuartal dua tahun ini, untuk pertama kalinya penjualan smartphone melebihi fitur
phone. Lebih lanjut mereka memperkirakan
akhir tahun ini jumlah smartphone
global akan mencapai 918 juta dan terus naik sampai 1,5 miliar pada 2017.
Jumlah tersebut berkisar dua-pertiga dari total pasar ponsel global.
Pasar smartphone Indonesia dengan sendirinya akan mengikuti pasar global.
Terlebih lagi, pasar Indonesia cenderung irrasional,
karena lebih mementingkan lifestyle. Dari
240 juta lebih pengguna ponsel di Indonesia, diperkirakan lebih dari 40 juta
adalah pengguna smartphone. Meskipun
dari jumlah tersebut porsi smartphone
LTE masih relatif kecil, namun diyakini akan segera berbalik ketika LTE sudah
tersedia dan harganya semakin terjangkau.
Jika pengguna smartphone di Indonesia sudah demikian luas, mampukah masyarakat
Indonesia menunggu LTE sampai 2018?
Internet Indonesia
Meskipun jumlah pengguna internet
sudah mencapai 62,5 juta pada akhir 2012, namun penetrasinya masih 27 persen.
Angka ini masih berada di bawah Vietnam yang telah mencapai 30,5 persen, dan
belum memenuhi target 50 persen sesuai kesepakatan 10 negara Asia Tenggara.
Akamai Technologies melaporkan
rata-rata kecepatan internet di Indonesia sebesar 1,2 Mbps, menempatkan
Indonesia di peringkat 115 dunia. Angka ini berada di bawah rata-rata kecepatan
internet global sebesar 2,8 Mbps. Angka tersebut bahkan berada di bawah Vietnam
sebesar 1,6 Mbps, Malaysia 2,2 Mbps dan Thailand 3,1 Mbps.
Jika posisi internet Indonesia masih
jauh di belakang, tidakkah berniat membuat lompatan?. Mampukah Indonesia
menunggu LTE sampai 2018?
Pendorong Pertumbuhan
Ekonomi
ITU melaporkan setiap peningkatan
penetrasi broadband 10% akan
mendorong kenaikan Gross Domestic Bruto
(GDB) sebesar 1,38%. Sementara Business World melaporkan broadband telah menyumbang kenaikan GDB rata-rata 2%. Khusus di
Indonesia, BPS menunjukkan kontribusi subsektor telekomunikasi terhadap PDB
tahun 2012 sebesar 3,2%.
Senior Director Spectrum Policy &
Regulatory Affairs GSMA, Chris Perera memaparkan kepada sejumlah media di
Jakarta (23/5/2013), bahwa penundaan LTE selama empat tahun, dari tahun 2014 ke
2018, bisa menghasilkan kerugian sebesar USD 16,9 miliar untuk GDP, USD 4,7
miliar untuk pajak, 79.000 usaha dan 152.000 lowongan kerja. Kerugian ini
ditaksir bisa lebih dari USD 20 miliar atau sekitar Rp. 200 triliun.
Awas Internet Macet,
Padat Merayap.
Seandainya pemerintah tidak segera
mengambil political decision dan
tetap berencana mengadopsi LTE pada tahun 2018, maka dari argumentasi di atas,
rasanya tidak berlebihan jika sejumlah pihak memprediksi internet bakal macet
total, padat merayap layaknya kemacetan kota Jakarta.
Pada saat itu, LTE tidak mampu lagi
menjawab kebutuhan dan solusi pun semakin sulit ditemukan. Kondisi akan lebih
parah, jika masyarakat tidak percaya
lagi kepada kemampuan pemerintah mengatasi permasalahan infrastruktur broadband.
Sebagai bagian anak negeri dan pengguna telko, kita tentu berharap semoga pemerintah segera mengambil keputusan dan mempersiapkan adopsi LTE secepatnya. Tahun 2014 merupakan tahun ideal, atau setidaknya 2015. Semata-mata untuk menghindari kekisruhan industri telko dan demi kemakmuran bangsa Indonesia.
Artikel ini telah dimuat Detik[dot]com tanggal 22/7/13. silahkan klik berikut:
BalasHapushttp://inet.detik.com/read/2013/07/22/102825/2309650/398/tunda-lte-sampai-2018-ancaman-macet-total?i991102105
atau klik PDF di link berikut:
BalasHapushttps://dl.dropboxusercontent.com/u/55331858/article/publish/120722_detikcom_Tunda_LTE_Sampai_2018_Ancaman_Macet_Total.pdf