Suatu ketika saya tinggal di sebuah rumah
tangga untuk beberapa hari. Saya merasakan ketenangan di rumah itu.
Bapak-Ibunya nampak rukun sekali dan sangat demokratis terhadap anak-anaknya.
Bapaknya sudah pensiun dari pegawai negeri, ibunya masih aktif, juga sebagai
pegawai negeri. Seluruh keluarga berpendidikan tinggi, ekonomi mereka di atas
rata-rata kebanyakan orang di sekelilingnya.
Ada yang menarik
dalam pandangan saya. Karena di rumah itu ada seorang pembantu perempuan
umurnya masih kepala tiga dengan membawa seorang anak perempuan yang masih
sekolah SD. Mereka juga nampak rajin sholat lima waktu, selepas maghrib seperti
orang-orang kampung lain mereka mengaji Quran dengan fasih dan suara sedikit
keras. Saya cukup tertegun karena seluruh anggota keluarga nampak sangat baik
pada si pembantu dan si anak. Si anak sekolah layaknya anak-anak lain dan nggak
nampak seperti anak pembantu. Lebih menarik lagi bagi saya, karena suatu saat
saya melihat kartu C-1 (kartu keluarga), ternyata mereka berdua sudah
dimasukkan dalam kartu C-1, di kolom hubungan keluarga tertulis Saudara.
Setelah cerita-cerita singkat dengan keluarga tersebut, ternyata mereka datang
dari Desa yang cukup jauh dan memang mereka masih punya hubungan keluarga
meskipun hubungannya sangat jauh, suami si pembantu sudah cukup lama meninggal
dunia.
Seperti biasa,
selepas subuh saya merenung sejenak. Karena ketertarikan saya pada si pembantu,
tanpa sengaja saya merenungkan kehidupan si pembantu. saya berpikir,
wah…orang sebaik mereka kenapa jadi pembantu ya…,
tapi … alhamdulillah…mereka diperlakukan sangat baik di keluarga
ini.
….
bisakah mereka hidup lebih baik lagi….
…..
bukankah keluarga ini telah membiayai seluruh kehidupan mereka dan
juga untuk sekolah anaknya. dan bukankah keluarga ini juga telah memperlakukan
mereka dengan sangat baik….? kenapa keluarga ini tidak menjadikan mereka
sebagai keluarga, benar-benar sebagai bagian keluarga, tidak hanya sekedar di
kartu C-1 ? tapi,..mungkinkah itu ?
…..
Tidak mungkin rasanya si Bapak berani mengawini si Pembantu.
bukankah Islam membolehkan si Bapak mengawini si Pembantu ?. oh, inikah
poligami ?
…..
Seandainya di negeri ini poligami bukan hal tabu, sepertinya si
Bapak dengan niat ikhlas lillahi ta`ala, tanpa dorongan nafsu rendah seksual,
akan mengawini si Pembantu. Dan sepertinya si Ibu juga nggak keberatan, karena
si Ibu tahu suaminya nikah atas dorongan niat baik dan bukan nafsu rendah,
selama ini si Ibu juga sangat baik dengan si pembantu, apalagi penampilan si pembantu
juga nggak jelek, bisalah dipercantik dengan polesan sedikit uang. Kalau
anak-anak…., kayaknya mereka juga nggak keberatan, karena si pembantu sangat
baik dengan mereka. Selama ini mereka juga telah menganggap anak si pembantu
seperti adiknya sendiri.
oh, seandainya saja poligami bukan hal tabu,…mungkin kehidupan si
pembantu dan anaknya menjadi lebih baik. Berapa banyak ibu-ibu di Indonesia ini
yang senasib dengan si pembantu ? Seandainya poligami bukan hal tabu, mungkin
jumlah pembantu dan TKI tidak sebanyak sekarang. Seandainya poligami bukan hal
tabu, mungkin pelacuran tidak semarak dan senekat sekarang.
Tapi,…kenapa para aktifis perempuan justru ingin mengubur khasanah
poligami ? bukankah upaya itu akan semakin memperburuk kehidupan perempuan-perempuan
lemah ? bukankah upaya itu hanya menguntungkan perempuan-perempuan kuat ?
Atau mungkin… karena mereka lebih tahu tentang perempuan dari pada
saya?, atau mungkin … hanya karena perbedaan cara pandang saja.
Renungan 16 Februari 2004
Komentar
Posting Komentar