Langsung ke konten utama

Membangun Landasan Ekonomi Rakyat melalui Zakat (Bag. 1)


Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). (5 : 55)


Selama 53 tahun lebih negara ini merasakan kemerdekaan, kemerdekaan negara Republik Indonesia, dan kemerdekaan bangsa Indonesia seluruhnya. Banyak sudah pengalaman dirasakan bangsa ini, politik, ekonomi, budaya, sosial atau pun yang lainnya. Pengalaman-pengelaman tersebut telah melahirkan kegiatan yang mengakibatkan munculnya kenyataan-kenyataan yang kita bersama telah rasakan. Pengalaman tersebut secara sengaja atau pun tidak telah memberikan pelajaran yang amat berharga bagi kita saat ini untuk meredesain ulang kehidupan kita di masa mendatang.

Sebuah pengalaman dan kenyataan yang kiranya sangat aktual untuk kita bicarakan adalah kefakiran dan kemiskinan yang ada di sekeliling kita. Kita nyatakan aktual berkaitan dengan tengah terjadinya krisis ekonomi dan moral yang telah secara dramatis memporakporandakan sendi-sendi ekonomi dan tata nilai bangsa Indonesia. Tengah terjadi bencana ekonomi yang meluaskan area kefakiran dan kemiskinan bangsa ini dan tengah terjadi kekosongan jiwa yang mengakibatkan munculnya oportunis-oportunis baru yang berbicara lantang dengan program-program sebagai pahlawan yang sebenarnya mementingkan diri tanpa peduli keadaan kawan di sekelilingnya.

Dalam iklim ini, amat sesuai kiranya untuk kembali menengok ajaran-ajaran suci yang universal dan absolut kebenarannya untuk dijadikan sebagai alternatif pemecahan masalah, ZAKAT.


A.    TAUHID ZAKAT


Dilihat dari definisinya, zakat berarti pertumbuhan yang berarti bahwa jumlah materi yang kita bayarkan sebagai zakat telah dijanjikan Allah dengan pertumbuhan, sehingga dapat dikatakan sebagai investasi. Zakat bisa berarti pula penyucian diri, bahwa harta yang telah kita zakati sesuai dengan ketentuan yang ada berarti telah menyucikan seluruh harta yang kita punya. Selama harta yang kita punya belum dizakati, maka di dalam seluruh harta tersebut belum suci untuk dikonsumsi.

Secara verbal ibadah zakat nampak sebagai ibadah horisontal, yaitu ibadah yang melibatkan hubungan antar sesama mahkluk. Hal ini bisa dimaklumi, karena ibadah ini secara kasat mata merupakan pemindahan harta dari seorang makhluk yang mempunyai harta lebih kepada lainnya yang kekurangan. Namun jika dikaji lebih dalam akan terlihat amat jelas, bahwa zakat mengandung nuansa vertikal yang amat kuat, bahkan diantara ibadah horisontal lainnya, ibadah zakat adalah yang paling kuat nuansa vertikalnya. Oleh karenanya pada bab ini secara khusus dibahas mengenai tauhid zakat.

Disebabkan oleh kekuatan nuansa vertikal tersebut, wajar jika ibadah zakat didudukkan dalam peringkat pertama diantara ibadah horisontal lainnya. Atau dengan kata lain, ibadah zakat adalah ibadah terpenting dalam hubungan antar manusia.

Zakat adalah rukun Islam ke tiga. Konsekunsi logis dari hal ini adalah bahwa belum beriman seseorang sampai orang tersebut menegakkan zakat. Amat keras disebutkan dalam Al-Quran Al-Karim bahwa seseorang yang tidak memberikan zakat, maka dia termasuk dalam golongan orang kafir, dan hanya neraka wail yang pantas ditinggalinya pada hari akhir kelak.

Katakanlah: "Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan yang Maha Esa, maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepadaNya dan mohonlah ampun kepadaNya. Dan kecelakaan besarlah (red: neraka wail) bagi orang-orang yang mempersekutukan-Nya (Musrikin), (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat dan mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat (41: 6-7)
.
Sebagaimana telah sering disebutkan di atas, interaksi setiap individu selalu ada dalam dua katagori hubungan, horisontal yang berarti hubungan antar sesama manusia dan vertikal yang berarti hubungan antara manusia dengan tuhannya. Islam adalah agama yang senantiasa mengajarkan keseimbangan, termasuk di dalamnya keseimbangan kedua hubungan tersebut.

Manifestasi dari keseimbangan kedua hubungan tersebut telah dijabarkan dalam berbagai bentuk fiqh peribadatan. Ibadah kunci dalam manifestasi keduanya adalah sholat dan zakat. Jika disebutkan bahwa sholat adalah kunci untuk diterimanya ibadah-ibadah lain, maka zakat pun demikian halnya. Sholat dan zakat adalah bentuk ibadah yang ‘tidak’ dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Penegakan sholat tanpa disertai pengamalan zakat akan sama artinya dengan pengamalan zakat tanpa penegakan sholat, kedua-duanya mengkibatkan ketidaksempurnaan amalan dan keimanan.

Kholifah Abu Bakar r.a menyatakan bahwa beliau akan memerangi orang yang berani memisahkan wajibnya sholat dengan wajibnya zakat. Lebih lanjut beliau menyatakan jika ada seorang muslim yang telah memenuhi syarat (muzaki) tidak membayar zakat, maka beliau akan mengambilnya dengan paksa, dan seandainya ada segolongan kaum yang menolak untuk membayar zakat, maka beliau akan memerangi kaum tersebut. Demikian sejarah telah mencatat perangnya pasukan kholifah Abu Bakar r.a untuk membrantas kaum yang tidak bersedia membayar zakat.

Wajibnya sholat dan wajibnya zakat bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Seseorang yang beriman tidak boleh melepaskan satu diantaranya. Al-Quran Al-Karim menyebutkan pasangan sholat dan zakat ini sebanyak 72 kali sebagai bukti keterikatan yang tinggi antara keduanya, sebagaimana ayat berikut.

Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku' (2:43)

Berikut satu ayat dari sekian banyak ayat serupa yang menyatakan keterhubungan antara keimanan dengan sholat dan zakat, yang dimana ketiganya tidak pernah bisa dipisah-pisahkan.

 Thaa Siin. (Surat) ini adalah ayat-ayat Al Quraan, dan (ayat-ayat) Kitab yang menjelaskan, untuk menjadi petunjuk dan berita gembira untuk orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat. (27:1-3)

Dalam banyak ayat di surat Al-Taubat disebutkan keterikatan yang tinggi antara ketaubatan, keimanan, sholat dan zakat. Hal ini tidak lepas dari esensi pentingnya unsur zakat dalam keimanan seseorang. Berikut sebagai salah satu contoh ayat tersebut.

Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui (9:11)




B. JAMINAN KEADILAN SOSIAL


Sebagaimana disebutkan di atas, Islam menjamin keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhannya dan dengan manusia lainnya. Dan dalam kontek hubungan antara sesama manusia ini, diwujudkan dalam berbagai bentuk ibadah yang diantaranya adalah redistribusi harta dari yang kelebihan kepada yang kekurangan.

Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (2:177)

Dalam konsep ini, secara garis besar dapat dinyatakan bahwa setiap muslim yang memiliki materi ‘lebih’ diharuskan memberikan sebagian kepada mereka yang ‘kurang’. Kalimat lebih dan kurang amatlah relatif sifatnya, oleh karenanya kalimat tersebut harus diterjemahkan dalam kontek individual dan hukum. Dalam kontek individual berarti bahwa tiap pribadi berhak untuk mengukur jumlah materi yang dimilikinya dan menyebutnya sebagai lebih atau pun kurang. Jika dirinya menilai bahwa yang dimiliki sudah lebih dari kebutuhan pokoknya, maka baginya harus muncul kesadaran untuk mendistribusikan ke pihak lainnya. Dan dalam kontek hukum berarti bahwa harus ada tatanan dan atau aturan yang berlaku, Al-Quran dan Al-hadist, dan barangkali ada lagi aturan baru yang muncul dengan mendasarkan diri pada Al-Quran dan Al-Hadist, yang ditegakkan bersama guna mendefinisikan secara eksak/empirik maksud dari kalimat lebih dan kurang. Dimana kontek hukum menduduki urutan yang lebih prioritas dari kontek individual.

Redistribusi harta ini diwujudkan dalam bentuk sebagai berikut :




Zakat adalah bentuk redistribusi harta yang mengikuti kontek hukum, karena di dalamnya telah ditetapkan angka-angka nisab (ukuran minimal kena zakat), haul (periode zakat), jenis zakat, muzaki (wajib zakat), mustahik (penerima zakat) dan sebagainya. Dan zakat hukumnya wajib bagi yang telah memenuhi ketentuan nisab dan haul.

Sebagai ekspresi dari kecintaan seseorang kepada ALLAH SWT dan ketinggian makam keimanannya, seorang dapat melebihkan jumlah harta yang akan didistribusikan kepada pihak lainnya dalam bentuk shodaqoh. Semakin tinggi makam keimanan dan kecintaan seorang muslim kepada ALLAH SWT, tentulah semakin tinggi pula kadar zakat dan shodaqoh yang dikeluarkannya.

Melalui dua bentuk redistribusi harta tersebut, Islam menjamin terwujudnya keadilan sosial, dengan alasan sebagai berikut :
1.     Tiap muslim berhak memperoleh dan menikmati harta lebih. Dalam artian bahwa Islam tidak mengenal ‘sama rata sama rasa’ yang mewajibkan kesamaan kepemilikan tanpa memperdulikan upaya lebih dalam perolehannya.
2.     Kesadaran penuh akan makna simbiose inheren. Yaitu bahwa setiap komponen yang ada di alam semesta ini akan saling terkait satu dengan lainnya, tidak mungkin tidak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Demikian pula adanya keterkaitan antara pihak yang memperoleh harta lebih dan pihak yang memperoleh harta kurang. Bahwa munculnya pihak yang memperoleh harta lebih dipastikan di dalamnya terdapat kontribusi, baik secara langsung atau pun tidak, dari pihak yang kurang. Tidak akan muncul pihak lebih tanpa adanya kontribusi pihak yang kurang. Demikianlah simbiose inhenren yang seharusnya disadari oleh setiap muslim.
3.     Tidak muncul kesenjangan sosial yang tinggi. Disebabkan sistem zakat yang bersifat wajib dengan pola pembagian secara proporsional & degresif maka, di setiap peningkatan di sisi muzaki dipastikan akan terjadi peningkatan pula distribusi harta ke sisi mustahik.
4.     Zakat memberi manfaat terbesar kepada muzaki. Bahwa persepsi sebagaian besar muslim yang menyatakan bahwa zakat memberikan manfaat bagi mustahik adalah benar, namun demikian sesungguhnya manfaat terbesar dari zakat ini ada di sisi muzaki. Dengan konsep ini tidak akan muncul arogansi di sisi muzaki dan tidak ada kerendahan di sisi mustahik. Dengan demikian selalu tercipta komunikasi yang harmonis diantara keduanya yang berkonsekuensi logis tidak dimungkinkannya kecemburuan, kebencian dan hal-hal negatif lainnya.
5.     Zakat telah memiliki asnab-asnab yang jelas prioritasnya. Telah disebutkan dalam Al-Quran dan Al-Hadist (akan dijelaskan dalam bab fiqh zakat), bahwa zakat didistribusikan kepada 8 asnab (penerima zakat) dengan sistem prioritas yang jelas. Dengan sistem ini, kecil kemungkinan bahwa hasil pengumpulan zakat akan terdistribusi ke tempat/post yang salah.
6.     Aspek tauhid. Bahwa seluruh sistem zakat telah termuat dalam Al-Quran dan Al-Hadist dan seperti disebutkan di depan, zakat amat bernuansa ketauhidan. Oleh karenanya, berbagai praktek negatif di seluruh prosesi dan mekanisme zakat dapat diminimalkan.

Berikut disajikan satu ayat yang menyatakan bahwa setiap muslim hendaknya menjadi penolong bagi muslim yang lainnya, dan begitu sebaliknya. Dengan demikian tidak dibenarkan seorang muslim amat berkelebihan, sementara muslim lainnya kekurangan.

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka  (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain.  Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan  mereka ta'at  pada  Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (9:71).

Bersambung ke bagian 2...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The 360 Leader - John C Maxwell

Hampir semua pemimpin memiliki pimpinan yang lebih tinggi. Bolehlah dibilang, tidak ada pemimpin yang tidak memiliki pemimpin diatasnya. Karenanya, buku The 360 Leader karangan John C. Maxwell ini sejatinya adalah untuk semua pemimpin, bukan hanya untuk para manajer yang selalu berada di bawah para pemilik perusahaan. Pun demikian, penjelasan buku ini memang lebih difokuskan kepada para manajer, senior manajer dan para pemimpin sejenis dalam perusahaan yang berada di bawah kepemimpinan orang-orang di atasnya. Buku setebal 400 halaman ini mengawali penjelasanya dengan 7 mitos tentang memimpin dari bagian tengah. Berikutnya menjelaskan tantangan yang dihadapi pemimpin 360 Derajat. Pada bagian ketiga dijelaskan bagaimana memimpin ke atas. Bagian keempat dan kelima menjelaskan praktik memimpin ke samping dan ke bawah. Pada bagian akhir dijelaskan nilai-nilai pemimpin 360 Derajat. Prinsip utama dari kepemimpinan 360 derajat adalah bahwa pemimpin bukanlah posisi, melainkan pe...

Pembangun Peradaban, Para Nabi dan Raja, Sejak Penciptaan hingga Menjelang Islam

Judul Buku : Pembangun Peradaban, Para Nabi dan Raja, Sejak Penciptaan hingga Menjelang Islam Penulis : Muhammad Yusuf Release : Maret 2024 Halaman : XIV + 162 Hal Format : Flipbook, eBook (PDF), Cetak (PDF Book Fold), Website. DOWNLOAD GRATIS: Edisi 2, April 2024 : FLIPBOOK    |    PDF EBOOK    |    PDF BUKU CETAK   Edisi 1, Maret 2024  : FLIPBOOK    |    PDF EBOOK    |   PDF BUKU CETAK Jika Anda lebih nyaman membaca pada website, silahkan buka masing-masing Bab pada link berikut: PEMBANGUN PERADABAN, Para NABI dan RAJA, Sejak Penciptaan hingga Menjelang Islam PENDAHULUAN -  pendahuluan BAB I  Peradaban Awal -  peradaban-awal-sebelum-4000-sm BAB II  Banjir Nuh dan Dinasti Awal -  banjir-nuh-dan-awal-dinasti-4000-3000-sm BAB III  Masa Kebangkitan Kerajaan -  masa-kebangkitan-kerajaan-3000-2000-sm BAB IV  Tanah yang Dijanjikan -  tanah-yang-di-janjikan-20...

Empat Komponen Manusia

Banyak referensi tentang kehidupan manusia telah saya pelajari, khususnya dari buku-buku tasawuf. Sejauh ini saya pahami bahwa manusia memiliki tiga komponen yang tidak terpisahkan, yaitu fisik, akal dan ruh. Alhamdulillah, pada renungan saya di segmen terakhir bulan ramadhan 1432 H ini, terbuka pemahaman baru mengenai komponen pembentuk manusia. Tentu saya meyakini kebenaran pemahaman ini, tapi bagaimana pun saya tetap membuka kemungkinan adanya pemahaman yang lebih baik. Manusia terbentuk dari empat bagian atau komponen yang tidak terpisahkan, yaitu: Pertama, Fisik atau jasad. Inilah bagian paling mudah dikenali. Fisik merupakan komponen utama dari semua makhluk di bumi ini. Melalui fisik inilah keberadaan makhluk di bumi dapat dilihat, dirasa dan dikenali. Karena komponen fisik ada di seluruh makhluk bumi, baik makhluk hidup maupun mati, maka tingkatan fisik merupakan tingkatan terendah, setara dengan tingkatan tumbuhan, hewan, tanah dan seterusnya. Kedua, Nyawa at...