[Versi e-Book dapat di download di sini: http://dl.dropbox.com/u/55331858/article/others/Fiqh_Zakat_distribusi_rev00.PDF ]
(Sambungan dari bagian 4...)
(Sambungan dari bagian 4...)
Komposisi sasaran zakat
Tulisan di atas telah menjelaskan jumlah pemberian untuk
setiap golongan mustahik. Tentu saja seluruh asnaf dapat diberikan sesuai
dengan kebutuhannya bilamana jumlah zakat yang tersedia mencukupi. Namun
bilamana harta zakat yang tersedia terbatas, bagaimanakah kita menetapkan
komposisi pada setiap golongan mustahik?
Imam syafii berpendapat bahwa pembagian zakat harus
diberikan kepada semua gologan mustahik secara merata, bilamana seluruh
golongan ada. Dan bilamana sebagian golongan tidak ada, maka zakat hanya
diberikan kepada golongan yang ada saja. Setidaknya zakat diberikan kepada tiga
golongan mustahik. Namun, sebagian besar ulama berpandangan berbeda. Diantara
mereka adalah Imam Malik, Imam an-Nakha`I, Abu Tsaur, Yusuf Qardawi, Abu Zahrah
dan lain-lainnya. Mereka berpendapat bahwa pada mustahik mana saja zakat
dibagikan, hal tersebut sudah mencukupi. Yang menjadi landasan adalah:
1. Tingkat kepentingannya pada
saat itu. Bilamana pada saat itu fakir miskin merupakan golongan yang paling
membutuhkan, maka tidak mengapa zakat diserahkan ke seluruhnya mereka, demikian
juga golongan yang lainnya.
2. Tingkat kecukupan, artinya
fakir miskin yang diberi zakat sangat sedikit tidak bisa mengobati
kemiskinannya, bahkan mungkin tidak berpengaruh sama sekali pada tingkat
kesejahteraannya. Keadaan yang demikian tentu tidak dikehendaki oleh sistem
zakat. Karena sistem zakat mengharapkan semaksimal mungkin agar mustahik suatu
saat dapat berubah statusnya menjadi muzakki. Demikianlah yang dicontohkan oleh
Rosullullah dan khalifah rasidin.
3. Banyak nash dalam Al-Quran
maupun hadist menyebut secara langsung terhadap satu golongan saja, seperti QS
2 : 271.
Pengelola zakat atau pemerintah berhak untuk
menetapkan golongan mana saja yang menurut mereka menjadi prioritas untuk
memperoleh harta zakat. Pada kondisi umum, fakir miskin merupakan golongan yang
paling penting dan harus mendapat prioritas pertama dibanding golongan lainnya,
karena beberapa asalan berikut. Pertama,
syariat telah memberi hak bagi golongan ini untuk memperoleh bagian pada semua
bidang pada baitul mal, baik pada bidang ghanimah, pajak, jizyah maupun zakat[1].
Kedua, Memberi kecukupan kepada fakir
miskin juga merupakan tujuan utama dari zakat. Ketiga, banyak Hadits dan Al-Quran menyebut hanya fakir miskin
sebagai pihak penerima zakat. Sedangkan bagian untuk amil, seperti disampaikan
oleh Imam Syafii hendaknya dibatasi maksimal sebesar 1/8 dari total harta
zakat.
Perlu disampaikan pula bahwa sesungguhnya delapan
asnaf yang ditetapkan dalam pada ayat At-Taubah ayat 60 dapat dikelompokkan
menjadi dua golongan. Golongan pertama meliputi fakir, miskin, amil dan
muallaf. Sedangkan golongan kedua adalah gharimin, riqab, sabilillah dan ibnu
sabil. Penggolongan tersebut didasarkan kepada pemakaian kalimat yang berbeda
pada ayat tersebut, yaitu menggunakan kalimat li pada golongan pertama dan kalimat fi pada golongan kedua. Ibnu Munayyir sebagaimana dikutip oleh
Yusuf Qardawi berpendapat bahwa pemakain li
pada golongan pertama menunjukkan kepemilikan. Sedangkan pemakain fi pada golongan kedua tidak menunjukkan
kepemilikan, tetapi hanya untuk keperluan suatu kemaslahatan yang berhubungan
dengan keadaan mereka. Oleh karena itu golongan terakhir ini harus menggunakan
harta tersebut untuk keperluan yang memberinya hak atas zakat, bila tidak,
mereka wajib mengembalikannya[2].
Yang dilarang menerima zakat
Pengelola zakat perlu memahami pihak mana saja yang
dilarang syariat menerima zakat. Karena seperti disampaikan pada bagian di
muka, bahwa aspek penting sistem zakat adalah aspek distribusinya. Sehingga
kesalahan distribusi zakat akan merusak kaidah dan keindahan sistem zakat yang
telah didesain Rosululullah saw makhluk yang paling mulia di alam semesta ini.
Golongan yang dilarang menerima zakat antara lain:
1. Keluarga yang meliputi anak,
istri, ayah dan ibu. Memberi zakat kepada mereka sama saja dengan memberi
nafkah kepada diri sendiri. Karena mereka seluruhnya merupakan tanggungan yang
harus dipenuhi kebutuhan pokoknya. Kecuali apabila mereka termasuk salah satu
golongan penerima zakat seperti amil, sabilillah dan seterusnya. Sedangkan
terhadap suami dan para kerabat ke samping, jumhur ulama membolehkan, bahkan
mereka berpendapat pemberian kepada mereka adalah lebih utama[3].
2. Keluarga Rosulullah saw.
Sebagaimana sabda Rosulullah saw “sesungguhnya zakat tidak halal bagi keluarga
Muhammad, sebab ia merupakan salah satu kotoran manusia”. Keluarga Rosulullah
saw berhak menerima pembagian harta dari rampasan perang, sebagaimana disebut
pada Al-Quran surat AL-Anfal ayat 41.
3. Orang kaya dan orang yang
mampu berusaha. Secara umum para fukaha sepakat bahwa orang kaya ialah mereka
yang memiliki harta yang wajib dizakati sebanyak satu nishab dengan syarat-syarat
tertentu, meskipun sebagian lainnya berpendapat bahwa kaya adalah kecukupan
dari segala kebutuhan, sedangkan kebutuhan itu tidak bisa dipastikan untuk
setiap orang. Hadist berikut secara tegas melarang orang kaya untuk menerima
zakat. “sedekah itu tidak halal buat orang kaya, kecuali lima kelompok : orang
yang berperang di jalan Allah, petugas zakat, orang yang berutang, orang yang
memberi sedekah dengan harta atau orang yang mempunyai tetangga miskin,
kemudian ia bersedekah pada orang miskin itu, dan orang miskin itu
menyedekahkan kembali kepadanya. (HR Abu Daud)”. Imam Syafii, Hambali dan
jumhur ulama juga tidak membolehkan harta zakat diberikan kepada orang yang
mampu berusaha secara layak dan dapat mencukupi diri pribadi dan keluarganya.
4. Orang kafir yang memerangi
Islam. Penegasan ini ada dalam Al-Quran Al-Karim surat Al-Mumtahanah ayat 9.
Untuk kafir zimmi, jumhur ulama berpendapat bahwa mereka dapat diberi zakat
bilamana harta zakat cukup memadai dan tidak menimbulkan kemudharatan bagi kaum
fakir muslim[4].
Sedangkan untuk orang fasik atau ahli maksiyat, beberapa ulama seperti ibnu
Taimiyah berpendapat bahwa mereka tidak
berhak menerima zakat. Namun pendapat umum ulama sebagaimana Yusuf Qardawi, Abu
zahrah membolehkan zakat diberikan kepada ahli maksiyat.
Artikel ini di tulis pada Januari 2003.
Komentar
Posting Komentar