"Pertumbuhan syiah didorong oleh kaum kafir yang jelas-jelas ingin memecah kekuatan islam dari dalam". Demikian penggalan isi ceramah selepas sholat dhuhur di masjid kantor. Ceramah dengan durasi sekitar 45 menit tersebut mengupas tentang syiah.
Sebagai alumni pondok pesantren, saya berprinsip bahwa mengkritik ustadz di depan umum adalah dosa. Pada sisi lain, jantung saya berdetak kencang mendengar ceramah yang keseluruhan isinya adalah cercaan kepada teman seagama. Apalagi saya berkeyakinan bahwa sebagian cercaan tersebut tidak berdasar dan butuh pembuktian.
Pak Ustadz menyampaikan, yang kira-kira isinya seperti berikut "Tragedi terowongan mina disinyalir adalah perbuatan syiah". Lebih lanjut beliau memprediksi "Jika mereka telah kuat posisinya di Indonesia, mereka akan melawan kita".
Saya sangat sedih mendengar ceramah tersebut. Paling tidak karena beberapa alasan:
1. Saya punya banyak teman syiah yang sangat saya kagumi kealiman dan kesholehannya.
2. Saya pernah belajar dan mendalami mazhab syiah untuk waktu yang cukup lama, meskipun akhirnya saya memutuskan untuk tidak mengikuti ajaran mereka.
4. Terlepas dari beberapa ajaran yang tidak saya terima, metode pembelajaran akidah syiah merupakan salah satu yang saya kagumi.
4. Seperti halnya sunni, syiah juga terpecah menjadi banyak golongan. Generalisasi syiah tentu bukan sikap yang bijaksana.
5. Banyak pernyataan Pak Ustadz yang membutuhkan pembuktian serius, dan bilamana hal tersebut tidak bisa dilakukan, pernyataan tersebut bersifat fitnah dan cenderung menghasut.
Perseteruan Perbedaan Mazhab
Jumlah penganut agama Islam di dunia berkisar 22 persen, atau 1,5 miliar. Jumlah tersebut telah terfragmentasi menjadi banyak sekali mazhab, firqoh dan golongan. Saya tidak tahu persisnya, mungkin 73, 730 atau bahkan 7.300 golongan.
Seandainya setiap golongan menyangka bahwa golongan lain akan merusak atau bahkan menghancurkan mereka, dan karenanya mereka menanamkan keyakinan kepada jamaahnya untuk waspada, benci dan bahkan memusuhi, seperti apakah agama islam ini kelak 10, 100 atau 1.000 tahun kemudian?
Sejatinya, beginilah kondisi islam sejak kekhalifahan dulu. Perang Shiffin dan tragedi Karbala menjadi saksi perseteruan sunni-syiah yang menyedihkan kita semua, hingga kita berusaha menyembunyikan kenyataan sejarahnya. Perseteruan semakin nyata sejak kejatuhan kekhalifahan di Turki. Dan begitu pula perseteruan di Indonesia sebelum 1970-an. Maka tidak heran jika saat ini Islam menjadi buih besar di lautan luas. Banyak jumlahnya, namun dipandang sebelah mata.
Abad 19 lalu terjadi perseteruan kelompok Wahabi di Arab Saudi dengan golongan lain di berbagai negeri. Perseteruan dipicu oleh rencana pemerintah Arab Saudi yang ingin menghapus tanda makam para sahabat, Umar, Abu Bakar dan puncaknya makam Rosul Saw. Kejadian ini telah mendorong kemunculan organisasi berbasis mazhab secara internasional. Tujuannya tentu untuk mempertahankan eksistensi masing-masing.
Meskipun tidak seburuk masa lalu, kondisi saat ini masih bisa dirasakan. Lihatlah kondisi Timur Tengah yang tengah di koyak kekuatan barat. Iran berjuang sendirian melawan gabungan sekutu negara maju. Saya pastikan, islam di belahan lain akan berdiam diri, karena Iran adalah pusat syiah. Sebelumnya Iran juga terkesan cuek dengan kejatuhan Saddam, karena Irak dikuasai kekuatan sunni.
Di Indonesia, muncul kekuatan Muhammadiyah dengan partai PAN, Nahdlatul Ulama dengan PKB, kelompok tarbiah dengan PKS, PBB dan seterusnya. Saya perkirakan PAN tidak akan pernah merger dengan PKB, paling tidak 10 tahun ke depan.
Di negeri yang mayoritas muslim ini, justru partai tengahlah yang berkembang. Demokrat, Golkar, PDIP, dan bahkan isu terakhir adalah Nasdem. Apa masalahnya?
Hidup Bersama Tanpa Cercaan
Saya bukan orang politik, karenanya tidak mampu dan tidak mau membahas lebih dalam permasalahan politik. Satu hal yang perlu saya garis bawahi dari paparan politik tersebut adalah, bahwa umat islam saat ini masih dihantui sifat ekslusif yang berlebihan. Menganggap dirinya benar, menyalahkan teman lain yang berbeda, bahkan mencerca, menyerang dan menghancurkan.
Mereka belum sadar, bahwa sejak bangun tidur sampai tidur lagi, mereka telah akrab dengan orang non-muslim. Sabun mandi yang di pakai, baju yang dibawa ke kantor, mobil yang dibanggakan, laptop yang dipakai kerja, internet untuk mencari berita, handphone untuk nelepon, fastfood sebagai menu makan siang, sampai kasur yang ditiduri pun ternyata milik non-muslim.
Apakah kita salah mengkonsumsi produk mereka? Jawabannya, tidak. Dunia memang inklusif. Manusia memang harus hidup bersama dan berbahagia. Perbedaan pastilah ada, karena setiap insan memang diciptakan unik dan berbeda. Perbedaan harus disikapi sesuai porsinya, tidak lebih dan tidak kurang!
Jika dunia inklusif, kenapa perlu mencerca teman yang berbeda? Biarlah berbeda, kita tetap bisa bersama. Apalagi masih satu agama, paling tidak punya tuhan dan nabi yang sama.
kita menghendaki kebangkitan yang benar dan berdiri di atas pencampakan semua akidah, pemikiran atau sistem yang tidak terpancar dari Islam. Kita pun menghendaki kebangkitan yang tegak di atas pelepasan segala hal yang menyalahi Islam sejak dari akarnya. Semua itu tidak akan pernah tercapai, sebagaimana telah saya tunjukkan, kecuali dengan melanjutkan kehidupan Islam dan mengubah negeri dari dar al-kufr menjadi Dar al-Islam.
BalasHapus