Langsung ke konten utama

Mencari Makna Takdir

Selepas sholat maghrib saya mengikuti takziyah bersama jamaah masjid Al-Mujahiddin di rumah salah satu takmir yang ditinggal mati istrinya karena kecelakaan. Usia pasangan suami istri ini masih relatif muda, di bawah 40 tahun. Mempunyai dua anak yang masih duduk di sekolah dasar. Saya amati si bapak cukup tabah dan tegar menghadapi musibah. Pada sambutannya beliau menjelaskan bahwa kematian istrinya semata-mata karena takdir Allwah Swt, dan karena itu pihaknya tidak akan membahas lebih jauh sebab musababnya.


Selama di rumah duka pikiran saya terfokus kepada makna takdir. Setelah sampai di rumah dan bahkan sampai beberapa hari berikutnya saya selalu merenungkan rukun iman keenam ini.


Sebenarnya kebingungan saya tentang makna takdir sudah terpendam lama. Namun selama ini tersimpan saja karena kekawatiran terhadap kemungkinan salah jalan atau bahkan murtad. Kali ini saya mencoba untuk mendalaminya dengan harapan semoga pemahaman tauhid semakin membaik.


Jabariyah Muktazilah dan Ahli Sunnah wal Jamaah


'Tidak selembar daun pun jatuh tanpa kehendak-Nya'. Demikian kira-kira makna dari salah satu hadits. Maknanya, tidak ada sesuatu pun dalam alam semesta ini terjadi tanpa ilmu dan kehendak-Nya. Apalagi kematian seseorang, tentu menurut ketentuan-Nya. 'Kelahiran, harta dan kematian seseorang telah ditentukan takdirnya.' Demikian kira-kira isi hadits yang sering disampaikan pendakwah.


Saat ini saya sedang duduk menulis di sebuah sofa, setelah 20 menit lalu saya memutuskan untuk meneruskan artikel ini. Seandainya saya memutuskan untuk makan, rasanya saat ini saya baru saja selesai makan dan sedang merapikan piring. Ataukah seandainya 20 menit lalu saya memenuhi ajakan istri belanja, mungkin saja saat ini saya masih di Indomaret.


Apakah sebenarnya takdir saya saat ini? Apakah sedang menulis, atau makan atau belanja atau bisa ketiganya atau bagaimana? Jika segala sesuatu telah ditentukan takdirnya, lalu apakah arti keputusan, usaha dan tindakan saya di atas? Lebih jauh lagi saya bertanya bagaimana hubungan antara keputusan dan usaha manusia dengan takdir Tuhan?


Faktanya, sebagian tindakan menghasilkan apa yang kita inginkan. Contohnya tindakan mengambil air minum, dan jadilah kita minum. Namun sebagian tindakan tidak terjadi seperti kehendak kita. Contohnya orang yang pergi keluar kota tiba-tiba pesawat jatuh dan seluruhnya meninggal. Apakah artinya bahwa tindakan pertama sama dengan takdirnya, sedangkan tindakan kedua tidak?


Pemikiran rumit inilah yang akhirnya mendorong munculnya golongan jabariyah, muktazilah dan golongan tengah ahli sunnah wal jamaah. Jabariyah berpandangan bahwa segala sesuatu telah ditetapkan oleh Allah Swt, sehingga manusia tidak lebih hanya sekedar wayang saja. Muktazilah berpendapat bahwa segala sesuatu merupakan akibat dari usaha manusia sendiri. Siapa yang berusaha akan mendapatkannya dan siap diam tidak beroleh apa pun. Sementara ahli sunnah berada di antara kedua pandangan tersebut.


Seperti apakah pandangan tengah tersebut? Sebagian ulama mengatakan, bahwa beberapa hal sudah ditetapkan takdirnya oleh Allah Swt, sedangkan hal yang lain dipengaruhi oleh usaha manusia. Atau seperti banyak pendakwah sampaikan, lakukan saja apa yang terbaik, hasilnya biarlah Tuhan yang menentukan.


Saya kesulitan memahami konsep ini. Karena jika demikian, dimana letak takdirnya? Apakah takdir berada di posisi akhir? Ataukah takdir berada di posisi awal dan kita diminta menghiraukan sampai akhirnya maujud? Benarkah Allah Swt hanya menetapkan takdir beberapa hal dan tidak ada takdir untuk hal lainnya?


Kembali kepada kasus kematian, apakah umur seseorang sudah ditentukan? Jika ya, bagaimanakah bentuk ketentuannya, apakah jumlah umur, sebab kematian, tempat kematian, atau lainnya? Jika ketentuannya berupa jumlah umur, apakah berarti mengesampingkan sebab kematian? Artinya tidak peduli sebab, yang pasti di umur 20 tahun 5 bulan 7 hari si pulan meninggal. Jika demikian bagaimana hukum ketentuan Allah Swt mengenai sebab dan akibat. Bukankah segala sesuatu di alam ini berkait satu dengan lainnya sebagai konsekuensi dari sebab akibat?


Bagaimana menjelaskan kerumitan hal ini? Apakah kita harus selalu melupakan dan menghindari kerumitan seperti ini? Bukankah Allah Swt menganugerahkan ilmu kepada manusia agar mereka berpikir? Berdosakah kita jika mencoba memikirkannya?


Allah Swt Mencipta Zat dan Menetapkan Sifat


Seperti disebutkan surat Al-Ahad, Allah Swt adalah Maha Esa, zat yang tunggal. Oleh karenanya setiap makhluk mustahil mempunyai zat tunggal. Makhluk terbentuk atas susunan zat-zat yang ditetapkan Tuhan. Suatu makhluk bisa tersusun dari beberapa zat yang sederhana, ribuan, jutaan, miliaran bahkan triliunan zat.


Bersamaan dengan penciptaannya, Allah Swt telah menetapkan seluruh sifat dari masing-masing zat tersebut. Sifat dimaksud melingkupi seluruh kemungkinan yang bisa terjadi selama kemaujudan zat. Termasuk juga sifat baru yang mungkin muncul bilamana zat tersebut berinteraksi bahkan berkolaborasi dengan zat-zat lainnya.


Manusia merupakan contoh makhluk yang tersusun atas kombinasi zat yang sangat komplek. Masing-masing zat telah membawa sifat unik dan hasil kombinasinya juga memunculkan sifat unik tersendiri.


Seluruh potensi yang dimiliki tiap-tiap manusia, termasuk semua kemungkinan keputusan yang diambil, semua kemungkinan usaha yang dilakukan, juga semua akibat yang menjadi konsekuensi, adalah perwujudan dari sifat-sifat yang telah ditetapkan sejak penciptaannya. Manusia tidak mungkin berada pada posisi diluar dari sifat-sifat yang telah ditentukan sejak awal.


Hal demikian berlaku juga untuk makhluk seluruhnya, baik yang hidup atau pun mati. Seluruh gerakan, tindakan, perubahan yang terjadi dari setiap makhluk merupakan perwujudan sifatnya yang telah ditetapkan sejak awal, tidak mungkin keluar dari koridor.


Keseluruhan sifat merupakan ketetapan Allah Swt sejak dari penciptaan awalnya. Keseluruhan sifat tersebut ada dalam ilmu, pengetahuan dan kehendak Allah Swt. Tiada satu sifat pun berada di luar ilmu dan kehendak Allah Swt. Karena seluruh pikiran, keputusan, tindakan, usaha, perubahan dan kejadian apa pun yang dilakukan atau terjadi terhadap makhluk merupakan perwujudan sifat, maka keseluruhannya pastilah dalam ilmu dan kehendak Allah Swt Sang Pencipta zat dan sifat.


Jadi itulah makna takdir Allah Swt.


Hubungan Usaha dengan Takdir


Dengan konsep 'penciptaan zat dan penetapan sifat', hubungan usaha dengan takdir menjadi sangat mudah dijelaskan.


Manusia diciptakan oleh Allah Swt dengan kapasitas ilmu yang luar biasa. Manusia juga diberi kewenangan penuh membuat keputusan terhadap 1001 kemungkinan yang ada. Dengan konsekuensi manusia harus bertanggung jawab penuh terhadap setiap keputusan dan tindakan yang diambil.


Jika kelak dia mendapat hasil baik, semata-mata buah dari keputusan dan tindakan yang telah diambilnya, demikian juga dengan hasil buruk, juga akibat dari keputusan dan tindakan yang dilakukan. Segala akibat selalu terkait dengan sebab yang mendahuluinya.


Kembali kepada kasus kematian, bahwasanya kematian merupakan akibat dari sebab yang mengawalinya. Bukan karena jumlah umur atau tempat atau waktu kematian yang telah 'ditentukan sebelumnya'.


Ketentuan Tuhan bukan pada jumlah umur tiap-tiap orang, namun pada zat dan sifat orang tersebut yang sudah ditetapkan sejak penciptaannya. Kematian merupakan konsekuensi dari sebab yang dilakukan sendiri. Namun, karena keseluruhan zat dan sifat berada dalam genggamannya, maka segala sesuatu baik yang terjadi kemarin hari ini maupun hari esok, termasuk waktu kematian seseorang, pastilah berada dalam ilmu dan kehendaknya. Dan itulah makna takdir kematiannya.


Demikianlah makna takdir yang saya pahami dengan seksama. Saya yakin pemahaman ini belum sempurna dan karenanya belum mampu menjawab semua pertanyaan. Namun demikian pemahaman awal ini semoga memotivasi kita untuk mengembangkan lebih dalam dan menyempurnakannya. Semoga kebingungan saya dan sebagian ummat yang lain dapat terpecahkan, amin.


Published with Blogger-droid v2.0.2

Komentar

  1. Pak Yusuf,trima kasih sharingnya buat menambah ilmu lagi bagi saya, ini tanggapan saya Sudah menjadi Sunatullah dan merupakan Rahmat Allah yg oatut di syukuri, bahwa Manusia tidak akan prnah tahu takdirnya, sehingga manusia menjadi Dinamis dan selalu harus Optimis dalam segala gerak gerik menjadi khalifah di bumi ini
    Nasib wajib selalu berusaha, dan yg bisa mengukir kedepan menjadi baik atau buruk, miskin atau Kaya dll adalah hasil usaha dari pada manusia itu sendiri,menjadi tanggung jawabnya sendiri, adapun keputusan akhir hanya Allah yang Maha tahu dan Maha berkehendak,Hanya Doa dan Usaha kita yang bisa menentukan kemana Takdir itu diputuskan oleh Allah, Takdir hanya bisa dirubah dengan takdir dan itu juga merupakan takdir Allah SWT,

    Demikian tanggapan dari saya Pak Yusuf yang baik hati, jika ada yg tdk pas itulah kekurangan saya, saya mohon ampun kapada Allah , mohon maaf lahir dan bathin kepada semua pembaca,( SakSen. 2012 )

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

The 360 Leader - John C Maxwell

Hampir semua pemimpin memiliki pimpinan yang lebih tinggi. Bolehlah dibilang, tidak ada pemimpin yang tidak memiliki pemimpin diatasnya. Karenanya, buku The 360 Leader karangan John C. Maxwell ini sejatinya adalah untuk semua pemimpin, bukan hanya untuk para manajer yang selalu berada di bawah para pemilik perusahaan. Pun demikian, penjelasan buku ini memang lebih difokuskan kepada para manajer, senior manajer dan para pemimpin sejenis dalam perusahaan yang berada di bawah kepemimpinan orang-orang di atasnya. Buku setebal 400 halaman ini mengawali penjelasanya dengan 7 mitos tentang memimpin dari bagian tengah. Berikutnya menjelaskan tantangan yang dihadapi pemimpin 360 Derajat. Pada bagian ketiga dijelaskan bagaimana memimpin ke atas. Bagian keempat dan kelima menjelaskan praktik memimpin ke samping dan ke bawah. Pada bagian akhir dijelaskan nilai-nilai pemimpin 360 Derajat. Prinsip utama dari kepemimpinan 360 derajat adalah bahwa pemimpin bukanlah posisi, melainkan pe...

Pembangun Peradaban, Para Nabi dan Raja, Sejak Penciptaan hingga Menjelang Islam

Judul Buku : Pembangun Peradaban, Para Nabi dan Raja, Sejak Penciptaan hingga Menjelang Islam Penulis : Muhammad Yusuf Release : Maret 2024 Halaman : XIV + 162 Hal Format : Flipbook, eBook (PDF), Cetak (PDF Book Fold), Website. DOWNLOAD GRATIS: Edisi 2, April 2024 : FLIPBOOK    |    PDF EBOOK    |    PDF BUKU CETAK   Edisi 1, Maret 2024  : FLIPBOOK    |    PDF EBOOK    |   PDF BUKU CETAK Jika Anda lebih nyaman membaca pada website, silahkan buka masing-masing Bab pada link berikut: PEMBANGUN PERADABAN, Para NABI dan RAJA, Sejak Penciptaan hingga Menjelang Islam PENDAHULUAN -  pendahuluan BAB I  Peradaban Awal -  peradaban-awal-sebelum-4000-sm BAB II  Banjir Nuh dan Dinasti Awal -  banjir-nuh-dan-awal-dinasti-4000-3000-sm BAB III  Masa Kebangkitan Kerajaan -  masa-kebangkitan-kerajaan-3000-2000-sm BAB IV  Tanah yang Dijanjikan -  tanah-yang-di-janjikan-20...

Empat Komponen Manusia

Banyak referensi tentang kehidupan manusia telah saya pelajari, khususnya dari buku-buku tasawuf. Sejauh ini saya pahami bahwa manusia memiliki tiga komponen yang tidak terpisahkan, yaitu fisik, akal dan ruh. Alhamdulillah, pada renungan saya di segmen terakhir bulan ramadhan 1432 H ini, terbuka pemahaman baru mengenai komponen pembentuk manusia. Tentu saya meyakini kebenaran pemahaman ini, tapi bagaimana pun saya tetap membuka kemungkinan adanya pemahaman yang lebih baik. Manusia terbentuk dari empat bagian atau komponen yang tidak terpisahkan, yaitu: Pertama, Fisik atau jasad. Inilah bagian paling mudah dikenali. Fisik merupakan komponen utama dari semua makhluk di bumi ini. Melalui fisik inilah keberadaan makhluk di bumi dapat dilihat, dirasa dan dikenali. Karena komponen fisik ada di seluruh makhluk bumi, baik makhluk hidup maupun mati, maka tingkatan fisik merupakan tingkatan terendah, setara dengan tingkatan tumbuhan, hewan, tanah dan seterusnya. Kedua, Nyawa at...