Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Informasi (LPPMI) menyerukan kepada masyarakat informasi untuk mengikuti aksi lempar Blackberry di Kedutaan Besar AS, Kedubes Kanada, dan Kemenkominfo. "Kami masih menunggu kawan-kawan yang sepemikiran, tapi kita harap ya pengguna Blackberry." demikian ajakan Kamilov Sagala, Direktur Eksekutif LPPMI, seperti diberitakan bisnis.com (20/12).
Seperti diketahui Research In Motion (RIM), produsen Blackberry telah mengoperasikan pabrik barunya di Penang Malaysia sejak 1 Juli 2011. Pabrik tersebut dimaksudkan untuk memasok kebutuhan Blakcberry di kawasan Asia, termasuk Indonesia. "Saya menyambut hangat keputusan RIM untuk membuat pabrik BlackBerry di sini. BlackBerry adalah simbol kualitas, dan RIM sangat bijak menyerahkan pembuatannya ke tangan para tenaga ahli dari Malaysia," demikian sambutan Datuk Jalilah Baba, Direktur Utama dari Malaysian Investment Deveopment Authority (MIDA), seperti diberitakan detik.com (18/7). Tidak hanya Malaysia yang dianggap kondusif, RIM juga berencana dalam waktu dekat membangun server di Singapura.
Ironis memang, karena pengguna Blackberry di Indonesia merupakan yang terbesar di Asia Tenggara. Lalu kenapa mereka tidak membangun pabrik dan server di Indonesia. Justru Malaysia dan Singapura yang dijadikan tempat investasinya. Padahal pada saat yang sama Pemerintah Indonesia, khususnya BRTI sedang getol-getolnya meminta RIM untuk menempatkan server, membangun pusat layanan, proteksi konten porno dan seterusnya. Jadi wajar saja jika akhirnya BRTI sewot dan merencanakan ancaman-ancaman lanjutan. Namun demikian apakah relevan dan efektif jika bentuk ancamannya adalah melempar Blakcberry di Kedubes Kanada? Percuma, tidak ada artinya, bahkan sayang buang barang mahal.
Pada akhir 2010 lalu, jumlah pelanggan Blackberry di Indonenesia sekitar 3 juta dan diperkirakan saat ini mencapai 4,5 juta atau 6 persen dari total pelanggan Blackberry yang mencapai 75 juta. Blackberry Messanger (BBM) sudah menjadi bagian yang tidak bisa dipisah dari urban lifestyle. Tidak hanya untuk kepentingan pribadi dan tongrongan para “cyborg” saja, BBM telah menjadi bagian dari business collaboration dari perusahaan kecil sampai korporasi besar. Pada kondisi demikian, sangat tidak masuk akal, jika niatan baik Pemerintah ditempuh dengan cara memisahkan Blackberry dengan penggunanya, karena bukannya RIM yang rugi namun penggunalah yang menderita. Apalagi jika aksi yang ditempuh adalah lempar gadget, hampir pasti tidak menarik bagi pengguna BBM. Terlau jauh dan mengada-ada jika aksi ini dikaitkan dengan spirit nasionalisme.
Seperti disampaikan Dany Bolduc, Vice President RIM untuk Malaysia, Thailand dan Vietnam, penempatan pabrik di Malaysia merupakan keputusan bisnis. Selain mempertimbangkan jumlah pengguna, RIM pastinya juga menganalisis iklim investasi, ketersediaan investor lokal, ketersediaan tenaga ahli lokal, dukungan infrastruktur, kemudahan distribusi barang ke negara lain dan tentunya yang paling penting adalah return on investment. Jika keputusannya Malaysia, berarti negara tersebut memiliki skore terbaik dari seluruh parameter yang dipertimbangkan.
Seperti diberitakan okezone.com (21/9), Kepala BKPM menyatakan bahwa pihaknya telah mengklarifikasi perihal tersebut baik kepada Pemerintah Malaysia maupun RIM. Lebih lanjut beliau mengatakan "Kurang tegas dalam hal membujuk orang yang memproduksi barang yang konsumsinya di Indonesia,". Anehnya pada saat yang sama, Kemenkominfo menyatakan “Saya mengenai RIM masih bingung, kemarin open house hari pertama Lebaran, Duta Besar Kanada datang ke rumah saya, dan Duta Besar Kanada sendiri mengatakan belum mengetahui masalah itu. Kita harus klarifikasi lagi ini," Di saat BKPM sudah mendapat konfirmasi, Kemenkominfo justru belum mengetahui perihal rencana RIM bangun pabrik di Malaysia. Jika demikian jelaslah sudah, permasalahan utama bukan pada jumlah pengguna Blackberry Indonesia yang paling besar, keputusan RIM yang salah, atau kompetisi abadi antara Malaysia dan Indonesia yang selalu berbau sewot. Permasalahannya adalah ketidaksiapan Indonesia untuk investasi global, khususnya oleh RIM. Tidak masuk akal jika Pemerintah Indonesia ngotot sementara modal yang diunggulkan hanyalah jumlah pengguna. Seharusnya Pemerintah mengedepankan negosiasi bisnis serta berkomitmen untuk memberikan skore yang lebih baik dari Malaysia.
Sejatinya saat ini RIM pada kondisi yang cukup buruk. Hal ini terlihat dari nilai sahamnya yang masuk ke titik terendah sejak 2004. Market share global Blackberry juga terus melorot hingga tinggal 15 persen, bahkan di jaringan Verizon kontribusi penjualan Blackberry jatuh dari 93 menuju 48 persen, demikian dikutip dari cellular-news. Bahkan berita terakhir menyebutkan, RIM telah gagal menjual Playbook hingga menjualnya sangat murah dan menderita kerugian sampai USD 485 juta. Pada kondisi dimana RIM tidak berdaya melawan Apple dan platform Android di pasar global, alangkah baiknya jika Pemerintah dan operator mulai membantu mengkampanyekan WhatApps sebagai pengganti BBM, Android sebagai pengganti platform Blackberry. Pasalnya, secara teknis WhatsApps cukup bersaing dengan kemampuan BBM, dan yang lebih penting WhatsApp terbuka untuk semua platform smartphone. Sedangkan Android, platform tersebut juga merupakan platform terbuka yang dapat ditanamkan di berbagai smartphone lokal seperti Nexian, TiPhone dan lainnya. Dengan kampanye ini diharapkan pengguna Blackberry segera menyusut dan pada saat yang sama vendor lokal diharapkan berkembang.
Dua pendekatan tersebut di atas, yaitu negoisasi bisnis dan kampanye penggunaan produk alternatif diyakini lebih efektif dari pada pendekatan 'represif atau regulasi' dengan cara menghentikan layanan Blackberry. Karena pendekatan represif akan merugikan masyarakat Indonesia sendiri, bahkan diyakini bakal mendapat perlawanan keras dari publik. Kegiatan lempar Blackberry tentu kurang rasional dan tidak mendidik. Kami yakin bahwa Pemerintah cukup rasional dan akhirnya mampu menyelesaikan kasus ini dengan cara yang terbaik
Seperti diketahui Research In Motion (RIM), produsen Blackberry telah mengoperasikan pabrik barunya di Penang Malaysia sejak 1 Juli 2011. Pabrik tersebut dimaksudkan untuk memasok kebutuhan Blakcberry di kawasan Asia, termasuk Indonesia. "Saya menyambut hangat keputusan RIM untuk membuat pabrik BlackBerry di sini. BlackBerry adalah simbol kualitas, dan RIM sangat bijak menyerahkan pembuatannya ke tangan para tenaga ahli dari Malaysia," demikian sambutan Datuk Jalilah Baba, Direktur Utama dari Malaysian Investment Deveopment Authority (MIDA), seperti diberitakan detik.com (18/7). Tidak hanya Malaysia yang dianggap kondusif, RIM juga berencana dalam waktu dekat membangun server di Singapura.
Ironis memang, karena pengguna Blackberry di Indonesia merupakan yang terbesar di Asia Tenggara. Lalu kenapa mereka tidak membangun pabrik dan server di Indonesia. Justru Malaysia dan Singapura yang dijadikan tempat investasinya. Padahal pada saat yang sama Pemerintah Indonesia, khususnya BRTI sedang getol-getolnya meminta RIM untuk menempatkan server, membangun pusat layanan, proteksi konten porno dan seterusnya. Jadi wajar saja jika akhirnya BRTI sewot dan merencanakan ancaman-ancaman lanjutan. Namun demikian apakah relevan dan efektif jika bentuk ancamannya adalah melempar Blakcberry di Kedubes Kanada? Percuma, tidak ada artinya, bahkan sayang buang barang mahal.
Pada akhir 2010 lalu, jumlah pelanggan Blackberry di Indonenesia sekitar 3 juta dan diperkirakan saat ini mencapai 4,5 juta atau 6 persen dari total pelanggan Blackberry yang mencapai 75 juta. Blackberry Messanger (BBM) sudah menjadi bagian yang tidak bisa dipisah dari urban lifestyle. Tidak hanya untuk kepentingan pribadi dan tongrongan para “cyborg” saja, BBM telah menjadi bagian dari business collaboration dari perusahaan kecil sampai korporasi besar. Pada kondisi demikian, sangat tidak masuk akal, jika niatan baik Pemerintah ditempuh dengan cara memisahkan Blackberry dengan penggunanya, karena bukannya RIM yang rugi namun penggunalah yang menderita. Apalagi jika aksi yang ditempuh adalah lempar gadget, hampir pasti tidak menarik bagi pengguna BBM. Terlau jauh dan mengada-ada jika aksi ini dikaitkan dengan spirit nasionalisme.
Seperti disampaikan Dany Bolduc, Vice President RIM untuk Malaysia, Thailand dan Vietnam, penempatan pabrik di Malaysia merupakan keputusan bisnis. Selain mempertimbangkan jumlah pengguna, RIM pastinya juga menganalisis iklim investasi, ketersediaan investor lokal, ketersediaan tenaga ahli lokal, dukungan infrastruktur, kemudahan distribusi barang ke negara lain dan tentunya yang paling penting adalah return on investment. Jika keputusannya Malaysia, berarti negara tersebut memiliki skore terbaik dari seluruh parameter yang dipertimbangkan.
Seperti diberitakan okezone.com (21/9), Kepala BKPM menyatakan bahwa pihaknya telah mengklarifikasi perihal tersebut baik kepada Pemerintah Malaysia maupun RIM. Lebih lanjut beliau mengatakan "Kurang tegas dalam hal membujuk orang yang memproduksi barang yang konsumsinya di Indonesia,". Anehnya pada saat yang sama, Kemenkominfo menyatakan “Saya mengenai RIM masih bingung, kemarin open house hari pertama Lebaran, Duta Besar Kanada datang ke rumah saya, dan Duta Besar Kanada sendiri mengatakan belum mengetahui masalah itu. Kita harus klarifikasi lagi ini," Di saat BKPM sudah mendapat konfirmasi, Kemenkominfo justru belum mengetahui perihal rencana RIM bangun pabrik di Malaysia. Jika demikian jelaslah sudah, permasalahan utama bukan pada jumlah pengguna Blackberry Indonesia yang paling besar, keputusan RIM yang salah, atau kompetisi abadi antara Malaysia dan Indonesia yang selalu berbau sewot. Permasalahannya adalah ketidaksiapan Indonesia untuk investasi global, khususnya oleh RIM. Tidak masuk akal jika Pemerintah Indonesia ngotot sementara modal yang diunggulkan hanyalah jumlah pengguna. Seharusnya Pemerintah mengedepankan negosiasi bisnis serta berkomitmen untuk memberikan skore yang lebih baik dari Malaysia.
Sejatinya saat ini RIM pada kondisi yang cukup buruk. Hal ini terlihat dari nilai sahamnya yang masuk ke titik terendah sejak 2004. Market share global Blackberry juga terus melorot hingga tinggal 15 persen, bahkan di jaringan Verizon kontribusi penjualan Blackberry jatuh dari 93 menuju 48 persen, demikian dikutip dari cellular-news. Bahkan berita terakhir menyebutkan, RIM telah gagal menjual Playbook hingga menjualnya sangat murah dan menderita kerugian sampai USD 485 juta. Pada kondisi dimana RIM tidak berdaya melawan Apple dan platform Android di pasar global, alangkah baiknya jika Pemerintah dan operator mulai membantu mengkampanyekan WhatApps sebagai pengganti BBM, Android sebagai pengganti platform Blackberry. Pasalnya, secara teknis WhatsApps cukup bersaing dengan kemampuan BBM, dan yang lebih penting WhatsApp terbuka untuk semua platform smartphone. Sedangkan Android, platform tersebut juga merupakan platform terbuka yang dapat ditanamkan di berbagai smartphone lokal seperti Nexian, TiPhone dan lainnya. Dengan kampanye ini diharapkan pengguna Blackberry segera menyusut dan pada saat yang sama vendor lokal diharapkan berkembang.
Dua pendekatan tersebut di atas, yaitu negoisasi bisnis dan kampanye penggunaan produk alternatif diyakini lebih efektif dari pada pendekatan 'represif atau regulasi' dengan cara menghentikan layanan Blackberry. Karena pendekatan represif akan merugikan masyarakat Indonesia sendiri, bahkan diyakini bakal mendapat perlawanan keras dari publik. Kegiatan lempar Blackberry tentu kurang rasional dan tidak mendidik. Kami yakin bahwa Pemerintah cukup rasional dan akhirnya mampu menyelesaikan kasus ini dengan cara yang terbaik
Bang Yusuf, menarik sekali posting nya di detikinet. Dengan menganjurkan Whatsapp sebagai alternatif messenger. Tapi, tahukah Bang Yusuf, kalo anak bangsa sendiri sudah bisa membuat aplikasi Messenger dengan platform Android, yang lebih bagus. At least, menurut survey di twitter @DroidIndonesia, aplikasi itu adalah CATFIZ - The Ultimate Android Messenger. Kalau Bang Yusuf berkenan, monggo sowan ke www.catfiz.com. Catfiz adalah karya anak Indonesia.
BalasHapusArtikel ini telah telah dimuat oleh Kolom Telematika Detik.com pada tanggal 20 Desember 2011.
BalasHapus