Hari ini karyawan Telkomsel melakukan aki demo, bergerak dari kantor mereka di Wisma Mulia menuju kantor Telkom, perusahaan induk Telkomsel yang menguasai saham 65 persen, di gedung Grha Citra Caraka Gatot Subroto Jakarta. Dari pantaun di depan kantor Telkom, aksi mereka diikuti sekitar dua ratusan personel yang semuanya berseragam kaos warna merah. Aksi membawa satu mobil pickup yang mengangkut sound system dan panggung orasi. Rombongan pendemo sampai di depan kantor Telkom sekitar jam sepuluh dan membubarkan diri pada pukul dua belas. Tiga orang mewakili mereka masuk kantor Telkom untuk bertemu dan diskusi dengan manajemen Telkom.
Dari berita yang dimuat di media, aksi demo Telkomsel mengusung tiga tuntutan yaitu kenaikan gaji sesuai kenaikan inflasi, tunjangan kesehatan masa pensiun dan tunjangan pulsa. Tiga tuntutan tersebut merupakan hasil kesepakatan sebelumnya antara manajemen dengan Serikat Karyawan Telkomsel (Sepakat) yang telah dituangkan dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Namun ketika salah satu pendemo saya tanya apakah mereka menuntut kenaikan gaji, dia bilang "tidak. bukan itu masalahnya. Demo ini merupakan akumulasi masalah ketenagakerjaan yang tidak kunjung diselesaikan oleh manajemen". Sahabat saya yang termasuk jajaran senior leader di Telkomsel sempat nge-tweet, aksi demo ini sarat dengan kepentingan, tidak semata-mata perbaikan kesejahteraan.
Terlepas dari apa pun motivasi dan kepentingannya, yang jelas karyawan Telkomsel telah melakukan aksi demo dengan tema kesejahteraan karyawan. Sementara publik menganggap kesejahteraan karyawan Telkomsel (dan Telkom) adalah yang terbaik di negeri ini, dan jika bukan terbaik setidaknya masuk kategori papan atas. Persepsi publik ini telah dibuktikan oleh survey independen selama tiga tahun terakhir yang menempatkan Telkom dan Astra sebagai perusahaan idaman anak negeri.
Jika kesejahteraan mereka telah jauh di atas rata-rata, kenapa mereka demo dengan tuntutan kesejahteraan? Sebuah fakta yang janggal! Mari kita lihat fakta serupa yang telah kita saksikan. Para pilot Garuda beberapa bulan yang lalu melakukan aksi mogok kerja selama 24 jam hingga manajemen Garuda kelimpungan mengatur jadwal penerbangan di hari tersebut. Sementara publik juga yakin gaji pilot selangit, apalagi pilot Garuda yang terkenal sebagai maskapai papan atas dan menjadi pilihan para eksekutif dan VIP. Demikian juga dengan Qantas, maskapai pelat merah Australia. Bulan lalu karyawan Qantas juga melakukan aksi mogok kerja hingga penerbangan ke seluruh tujuan dihentikan. Seperti halnya Garuda, Qantas merupakan maskapai kelas wahid yang berkompetisi dengan maskapai elit sekelas Singapore Airline dan Etihad.
Telkomsel, Garuda, Qantas merupakan perusahaan yang menjadi leader di kategori bisnis masing-masing. Publik juga percaya ketiganya memiliki reputasi terbaik di kelas masing-masing dengan prospek bisnis yang menjanjikan. Namun demikian, kenapa karyawan melakukan aksi demo, bahkan tema demo adalah kesejahteraan, padahal kesejahteraan mereka jauh di atas rata-rata pekerja, setidaknya menurut opini publik. Maka pertanyaan yang patut disampaikan adalah: kenapa karyawan banyak maunya, apa sebenarnya yang mereka kehendaki?; atau kedzaliman apa yang telah dilakukan manajemen, hingga karyawan bontrak?; atau mungkinkah telah terjadi pergeseran paradigma mengenai hubungan industrial antara karyawan dengan manajemen, khususnya dalam perusahaan-perusahaan mapan?
Komentar
Posting Komentar