Pejabat Lapan, Prof Thomas, mengatakan kepada ANTARA (24/8) bahwa lebaran tahun ini berpotensi berbeda, karena tinggi bulan saat maghrib akhir ramadhan sekitar dua derajat atau kurang. "Perbedaan tersebut merupakan rahmah dan momentum lebaran harus dijadikan sarana untuk meningkatkan ukhuwah serta silarurahmi dengan sesama", demikian pernyataan Kabid Urusan Agama Islam Kanwil Kementrian Agama Sumbar di Republika Online (25/8).
Pernyataan tersebut nampaknya biasa-biasa saja, bahkan kelihatan bijaksana. Karuan saja, pernyataan serupa memang biasa kita dengar sejak jaman orde baru. Namun bagi saya pernyataan itu tetap saja sumbang bahkan aneh, meskipun telah bertahun-tahun tercetak di media.
Saya berasal dari keluarga NU 'militan' di perkampungan Pekalongan, sedangkan istri dari lingkungan Muhammadiyah di sekitar kraton Jogja. Saya bersyukur karena istri dan anak-anak selalu sepakat dalam memutuskan hari lebaran, meskipun konsekuensinya harus berbeda dengan keluarga besar saya atau mertua. Sempat beberapa kali kami harus sungkem kepada orangtua atau mertua disaat saya, anak dan istri sedang berpuasa. Wajar jika anak istri sedih, mengingat mereka telah menempuh perjalanan mudik yang cukup berat, namun sayang suasana lebaran tidak seperti harapan semula.
Saya yakin, yang saya alami juga dirasakan oleh ribuan keluarga di Indonesia. Patut saya menyampaikan acungan jempol kepada kepala keluarga yang telah bijaksana membimbing keluarganya dalam kesatuan sikap demi menikmati indahnya persatuan, meskipun ada anggota keluarga yang harus mengubur prinsip yang sebetulnya bisa mereka pertahankan.
Saya membayangkan, jika anggota keluarga saya adalah tim penentu rukyat dan hisab, sementara saya adalah pemimpinnya, insyaallah negeri ini akan selalu menikmati hari lebaran yang sama dengan penuh suka cita, cinta dan persatuan. Sayangnya, pemimpin negeri ini lebih suka bertahan dengan keyakinan masing-masing, meskipun harus dibayar dengan perselisihan dan perpecahan umat. Yang lebih sulit saya mengerti adalah, mereka merasa seakan bijaksana dengan sikapnya, bahkan meminta umat untuk bijaksana menerima perbedaan yang mereka buat.
Selayaknya kita bersyukur, umat muslim di negeri ini telah cukup dewasa dengan berbagai perbedaan mazhab. Kita sering menyaksikan betapa banyak warga Muhammadiyah mengikuti sholat subuh di masjid Nahdlatul Ulama (NU) yang berqunut, mereka bahkan mengikuti acara tahlilan dan sholawatan. Warga NU juga banyak yang mengikuti taraweh delapan rakaat, jumatan dengan satu adzan dan seterusnya. Masjid NU tidak lagi mempermasalahkan, jika ada jamaah yang menggunakan celana dan kaos, termasuk jika ada sekelompok jamaah bergamis dan berjenggot yang menginap beberapa malam. Singkatnya, ummat telah cukup toleran menerima berbagai perbedaan fiqih dan tradisi yang menyertainya.
Sedangkan soal hari lebaran, sudah sepantasnya kita melihat dengan perspektif berbeda, karena lebaran bukan monopoli urusan fiqih semata. Tradisi lebaran di Indonesia merupakan tradisi lokal yang unik dan tidak ada di negara lain. Tradisi lebaran telah menyeret tradisi mudik yang dahsyat, tradisi sowan, tradisi reuni dan halal bi halal, membentuk pola konsumsi yang unik, penguatan ekonomi daerah urban dan seterusnya. Bahkan lebaran tidak lagi menjadi milik muslim semata, namun telah berpengaruh luas terhadap kehidupan non muslim. Terkait dampaknya yang luas terhadap kehidupan rakyat, lebaran selalu menyita perhatian Departemen Perhubungan, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Industri dan Perdagangan, dan Departemen Perekonomian.
Dengan kenyataan ini, seharusnya lebaran tidak lagi menjadi urusan hisab dan rukyat, bahkan tidak lagi menjadi urusan NU dan Muhammadiyah. Lebaran mempunyai dampak yang lebih luas dibanding urusan haji. Oleh karenanya lebaran seharusnya menjadi urusan dan otoritas Pemerintah sebagaimana ibadah haji. Semua pihak sewajarnya ikhlas menyerahkan urusan ini kepada Pemerintah. Jika hal ini bisa dilakukan, diharapkan perseteruan antara penganut hisab dan rukyat dapat dipertemukan.
Dengan perkembangan ilmu pengetahuan saat ini, metode hisab rukyat juga sepatutnya dievaluasi kembali. Pada beberapa bulan terakhir kita mengetahui betapa Amerika dan China telah berhasil menemukan planet dan bintang-bintang baru, sebagian berada di luar galaxy kita. Bahkan minggu ini diberitakan NASA sedang mengusulkan anggaran US$ 8.7 miliar untuk pembuatan James Webb Space Telescope (JWST), sebuah teleskop yang diklaim mampu melihat planet di bintang lain. Disaat umat non muslim telah demikian maju, umat muslim Indonesia justru menentukan lebaran berbasis teropong teodolit. Sepantasnya kita prihatin dengan kenyataan ini.
Banyak argumentasi yang dapat disampaikan, dari yang rumit sampai yang sederhana sebagaimana diusulkan Prof Thomas, yaitu penyamaan kriteria hilal, namun akhirnya akan berujung kepada kearifan pemimpin kita, yaitu bersedia berkompromi demi persaudaraan umat dan keindahan momen lebaran. Kearifan itulah yang menjadi harapan besar ummat, khususnya para pemudik tahun ini yang mencapai lebih dari 14 juta jiwa, mengingat perbedaan waktu lebaran sangat mungkin terjadi.
Komentar
Posting Komentar