Pejabat Lapan, Prof Thomas, mengatakan kepada ANTARA (24/8) bahwa lebaran tahun ini berpotensi berbeda, karena tinggi bulan saat maghrib akhir ramadhan sekitar dua derajat atau kurang. "Perbedaan tersebut merupakan rahmah dan momentum lebaran harus dijadikan sarana untuk meningkatkan ukhuwah serta silarurahmi dengan sesama", demikian pernyataan Kabid Urusan Agama Islam Kanwil Kementrian Agama Sumbar di Republika Online (25/8). Pernyataan tersebut nampaknya biasa-biasa saja, bahkan kelihatan bijaksana. Karuan saja, pernyataan serupa memang biasa kita dengar sejak jaman orde baru. Namun bagi saya pernyataan itu tetap saja sumbang bahkan aneh, meskipun telah bertahun-tahun tercetak di media. Saya berasal dari keluarga NU 'militan' di perkampungan Pekalongan, sedangkan istri dari lingkungan Muhammadiyah di sekitar kraton Jogja. Saya bersyukur karena istri dan anak-anak selalu sepakat dalam memutuskan hari lebaran, meskipun konsekuensinya harus berbeda dengan keluarga...