Banyak isu beredar seputar penjualan Speedy. Ada yang bilang, sales fee terlalu mahal, cabutan tinggi, banyak pelanggan bolong, saling serobot PS? Dan seterusnya, dan lain-lain. Betulkan isu tersebut?
Bisa betul, bisa juga tidak, tergantung dari cara pandang, angka benchmark serta visi yang kita mau. Yang jelas, sebagai pengamat, saya kesulitan melukiskan bentuk ideal jalur distribusi Speedy. Karena kesulitan itulah, saya tertarik membuat tulisan ini sebagai penghibur hati.
Jalur Distribusi
Kita mengenal banyak bentuk jalur distribusi. Pada umumnya kita mengenal jalur distribusi langsung (direct channel) dan tidak langsung (indirect channel). Direct channel adalah jalur distribusi milik perusahaan atau mitra, yang diselenggarakan untuk dan atas nama perusahaan. Sedangkan indirect channel adalah jalur distribusi yang diserahkan kepada mitra diluar perusahaan.
Direct channel biasanya dibangun melalui outlet atau service center dan media-media yang dapat menjangkau secara langsung kepada pelanggan seperti call center, PO BOX, sms, dan internet. Revolusi internet dan jejaring sosial telah memungkinkan perusahaan berinteraksi secara intim dengan pelanggannya, sehingga mampu memperkuat kontribusi direct channel, sekaligus menggeser dominasi mitra indirect channel. Lebih-lebih lagi untuk perusahaan yang berbasis teknologi informasi, tentu porsi direct channel seharusnya menjadi dominan.
Persoalan indirect channel tentunya lebih komplek dan rumit. Pengelola indirect channel dihadapkan kepada banyak mitra, yang relatif sulit dikendalikan, karena mereka bertindak atas kemauanya sendiri. Namun demikian ada bahasa yang bisa dipahami semua pihak, yaitu profit, dan itu adalah kuncinya.
Isu Krusial
Isu penting yang perlu mendapat perhatian dalam mengelola jalur distribusi antara lain. Pertama, Memastikan stok barang di pasar fit dengan permintaan. Jika stok pasar tidak cukup, perusahaan rugi, karena penjualan terhambat. Sebaliknya, jika stok di pasar berlebih, harga barang bakal jatuh dan persaingan antar jalur distribusi tak terkendali. Yang sering terjadi adalah over confidence. Perusahaan tidak mampu membangun permintaan yang tinggi, namun memaksakan diri melempar barang sebanyak mungkin ke pasar. Hasilnya, barang terpaksa dijual murah, ongkos untuk jalur distribusi mahal dan kemungkinan besar bakal terjadi perang antar jalur distribusi.
Kedua, Konflik antar jalur distribusi. Konflik antar jalur distribusi yang berkepanjangan bisa menjatuhkan reputasi perusahaan, sehingga para mitra cenderung tidak loyal, bahkan hengkang. Banyak hal yang bisa jadi penyebab, diantaranya adalah perang antar mitra karena stok barang berlimpah atau sulit terjual, perlakukan yang tidak adil, adanya direct channel yang berkompetisi langsung dengan mitra.
Ketiga, Kepuasan mitra. Seperti halnya pelanggan, mitra jalur distribusi juga harus dipuaskan. Mitra yang tidak puas cenderung tidak mendukung program perusahaan, bahkan kadang bersifat parasit atau memilih keluar. Beberapa hal yang mempengaruhi kepuasan atau ketidakpuasan adalah: kebijakan perusahaan sering berubah dan kadang merugikan mitra, komunikasi yang tidak harmonis karena manajemen perusahaan cenderung birokratis bahkan jaga jarak.
Speedy ?
Sesuai kebijakan terakhir, Speedy di distribusi melalui 7 jalur, yaitu Telkom Store (Plasa Telkom), Inbound 147, Outbound Telemarketing, Virtual (web, sms), Komunitas, Partnership Store dan Dealer. Sesuai definisi, empat jalur pertama termasuk kategori direct channel, dua jalur terakhir masuk kategori indirect channel, sedangkan komunitas bisa masuk keduanya. Sejauh ini kontribusi penjualan dari direct channel masih di bawah 20 persen. Sumbangan penjualan Plasa Telkom kurang dari 8 persen, Inbound dan Outbound kurang dari 12 persen, bahkan untuk jalur virtual nihil. Kondisi ini tentu menyedihkan, bahkan boleh saya bilang lucu. Kenapa? Paling tidak ada tiga alasan. Pertama, Speedy adalah produk berbasis internet, seharusnya dapat dipasarkan melalui jalur direct channel. Kedua, target pasar Speedy sangat jelas, karena databasenya sudah tersimpan rapi di Siska. Kenapa kita harus pusing mengelola indirect channel, padahal semua target Speedy ada dalam kantong kita? Ketiga, direct channel adalah jalur distribusi murah meriah.
Sampai saat ini indirect channel masih mendominasi penjualan Speedy, khususnya dealer dan komunitas. Kontribusi mereka masih berkisar 80 persenan. Betulkah demikian? Sebetulnya saya geli dengan data ini, coba jawab pertanyaan ini. Bukankah data prospek mereka dari Telkom? Bukankah sebagian besar kerja mereka berupa outbound? Bukankah tempat kerja mereka sebagian di kantor Telkom? Bahkan, sebagian mereka justru membajak pelanggan yang datang ke Plasa Telkom. Ketika saya tanya, petugas Plasa Telkom Sukabumi berargumen "memang nggak ada sales di Plasa pak, karena kalo ada orang datang dilarikan ke belakang (maksudnya: dealer yang berkantor di ruang belakang)". Kisah nyata ini tidak hanya terjadi di Sukabumi, tapi sudah menjadi praktek umum.
Dampak serius dari kondisi ini adalah: sales fee sangat mahal bahkan sulit di efisienkan kembali, direct channel akan menuntut sales fee yang sama, tingkat churn relatif tinggi, dan persaingan antar jalur distribusi sulit disolusikan.
Pokok Masalah
Sebelum diskusi tentang solusi, saya coba pahami pokok persoalan dari masalah komplek ini. Setidaknya ada tiga hal. Pertama, Telkom belum melakukan estimasi tingkat permintaan, sehingga pasokan barang (target sales) cenderung tidak fit dengan kebutuhan. Seperti dijelaskan di atas, kekurangan supply mengakibatkan terhambatnya penjualan, sedangkan over supply mengakibatkan harga barang jatuh, persaingan antar channel dan hal-hal rumit lainnya. Seperti halnya industri ritel, setiap pemasar harus tahu betul seberapa besar tingkat permintaan minggu depan, bulan depan dan seterusnya. Berikutnya adalah mendistribusi barang sesuai jumlah permintaan. Hanya dengan menjamin keseimbangan supply - demand, mekanisme pasar akan berjalan efektif dan efisien.
Kedua, Telkom belum mengoptimalkan direct channel, justru sebaliknya mengandalkan indirect channel. Saya yakin, penguatan inbound, outbound, sms, web, jejaring sosial dan Plasa Telkom tidak kalah hasilnya dibanding dealer, namun yang pasti jauh lebih murah. Jumlah sales fee dealer setahun mencapai ratusan miliar, coba bandingkan, berapa investasi untuk penguatan direct channel? Tentu tidak sebanding.
Ketiga, Model bisnis dealership tidak menarik. Semua dealer ritel pasti tertarik dengan barang yang berpotensi repeat buying. Dealer voucher pasti senang karena ada pembelian pulsa isi ulang yang terus menerus. Dealer mobil pasti senang karena ada service berkala dan jualan sparepart. Bagaimana dengan agen property? Mereka juga senang, karena meskipun hanya transaksi sekali tapi komisinya besar. Kenapa penjual berani bayar besar? karena sifat bisnisnya one time transaction. Bagaimana dengan Speedy? Sifat bisnis Speedy adalah repeat buying, karena pendapatannya diperoleh dari tagihan bulanan. Jika model kemitraan bersifat one time transaction (dealer dapat komisi hanya ketika terjadi penjualan), tentu skema ini tidak menarik bagi mereka. Karena mereka hanya dapat sekali untuk setiap pelanggan. Pandangan mereka, bussiness sustainability is not guaranted. Sehingga wajar, jika akhirnya mereka bicara jangka pendek, selalu minta kenaikan sales fee dan bahkan sedikit 'cheating'. Pada sisi lain, Telkom juga kesulitan memberi sharing revenue yang berkelanjutan. pada titik inilah, skema dealership menjadi bisnis yang kurang menarik dan relatif komplek.
Solusi
Saya tidak terlalu yakin rekomendasi ini bakal mempercantik bentuk jalur distribusi, apalagi memacu penjualan. Namun setidaknya saya yakin, hal ini bisa mengurai kerumitan jalur distribusi dan yang pasti mengurangi besaran sales fee.
Pertama, memacu penjualan melalui peningkatan permintaan, bukan menambah target. Jika tingkat permintaan di bawah target, kita perlu menambahnya dengan perluasan coverage, new product package, promosi, dan upaya marketing lainnya. Distribusi barang yang jauh di atas jumlah permintaan dipastikan menimbulkan harga jatuh, konflik channel, dan ongkos penjualan tinggi.
Kedua, pemberdayaan direct channel, dan menjadikannya sebagai jalur utama. Telkom perlu serius membangun sms-in, mobile-service, web-in dan social-media. Sejauh ini direct channel dikembangkan secara inhouse 'apa adanya'. Tidak ada ruginya Telkom mengalokasikan Capex untuk hal ini. Pilihan ini, dalam pandangan saya, jauh lebih baik dibanding Opex sales fee yang terus membesar.
Ketiga, perbaikan kebijakan stategis untuk dealership, sebagai berikut. Pertama, perluasan peran dealer sebagai strategic partner, dengan lingkup kerja meliputi penjualan, instalasi, retensi dan penangan gangguan rutin. Namun kegiatan penjualan dipersempit perannya sebatas door-to-door, tidak diperkenankan melakukan outbound telemarketing dan tidak berkantor di gedung Telkom. Perluasan peran dealer bukanlah hal yang mudah bagi Telkom, apalagi menyangkut kerjasama lintas direktorat. Kedua, pembatasan jumlah dealer. Jumlah dealer yang kelewat banyak cenderung tidak produktif, karena: pengelolaan kemitraan menjadi rumit dan komplek, persaingan antar dealer tidak kondusif, skala bisnis dealer tidak memadai, karakter kerjasama berjangka pendek. Namun sebaliknya, jumlah dealer yang terlalu sedikit juga bakal menghambat operasional. Pasalnya, mereka wajib menguasai dan mengelola alat produksi berupa kabel yang tertanam di seluruh bumi nusantara. Saya berpandangan, jumlah dealer 50 - 100 merupakan angka ideal.
Keempat, mengubah sales fee untuk direct channel menjadi insentif. Direct channel adalah jalur yang dipunyai dan dikelola langsung oleh perusahaan. Seluruh kebutuhan dan standarisasi pengelolaan direct channel telah dirancang sedemikian rupa oleh perusahaan. Karenanya menurut saya, direct channel, termasuk pegawai, tidak patut menerima sales fee. Alokasi sales fee untuk mereka merupakan pemborosan yang luar biasa, bahkan cenderung menimbulkan 'transaksi di bawah meja' yang berpotensi pada konflik antar channel. Insentif atau reward merupakan cara yang lebih efektif dan murah.
Komentar
Posting Komentar