Isu blokir Blackberry sempat memanas dua minggu terakhir. Banyak pihak ikut berkomentar seputar topik ini, dari mulai orang biasa, pakar IT, sampai pangacara senior bahkan anggota legistatif. Memang banyak yang mendukung kebijakan Kominfo ini, namun beberapa tokoh di negeri ini justru menyorotinya kurang positif.
Bersyukur, hari Senin kemarin telah dicapai 4 butir kesepakatan antara Kominfo dengan pihak RIM। 4 butir kesekapatan tersebut adalah:
- RIM berkomitmen menyediakan pusat layanan purna jual dan sekarang telah memiliki lebih dari 40 Customer Care resmi।
- RIM akan membahas lebih lanjut mengenai fasilitasi akses lawful interception (penyadapan) bagi penegak hukum Indonesia।
- RIM komitmen memblokir akses konten internet negatif।
- RIM melaporkan bahwa mereka akan membangun sebuah Regional Network Aggregator di lokasi yang belum disebutkan।
Sebelum kesepakatan dengan Pemerintah Indonesia, pada 14 Januari lalu RIM telah mempublikasikan komitmennya dalam memenuhi tuntutan Pemerintah India, dan akhir tahun 2010 lalu RIM juga telah membuat kesepakatan serupa dengan Pemerintah Emirat Arab।
Dari kasus ini, setidaknya saya melihat tiga hal yang menarik, yaitu:
Pertama; sebagai perusahaan ICT global, RIM sudah barang tentu punya komitmen kuat untuk selalu komplai dengan regulasi setempat। Tanpa fleksibilitas, dipastikan RIM tidak akan bertahan mengembangkan bisnisnya secara global. Banyak kasus serupa telah dialami para pemain ICT global, antara lain seperti IBM, Microsoft, Telefonica bahkan juga Temasek di Indonesia. Semua pemain global tersebut selalu mampu beradaptasi dengan ketentuan lokal.
Kedua; RIM, Apple, Nokia, Google adalah beberapa pemain ICT global yang menerapkan model bisnis baru di industri ICT। Dari perspektif perundang-undangan di Indonesia, mereka bisa kita definisikan sebagai operator, bisa sebagai content provider, bisa sebagai produsen device, bisa sebagai application developer, bahkan bisa juga sebagai online store. Dengan kenyataan ini, langkah Pemerintah menjadi relatif sulit, karena perundang-undangan di Indonesia belum menyentuh sampai ke sana. Adalah pekerjaan rumah bagi kita semua untuk kembali mereview kebijakan dan perundang-undangan yang mampu mengantisipasi perubahan model bisnis industri ICT yang berkembang pesat, melindungi konsumen, sekaligus melindungi industri ICT lokal dari gempuran pemain global.
Ketiga; Bangsa Indonesia cenderung menjadi bangsa yang permisif. Atau lebih tepatnya, tidak percaya diri. Tentu kita bersyukur, ditengah gempuran opini negatif yang menyerang, Kominfo tetap bertahan dan teguh pada pendiriannya. Sikap ini perlu kita apresiasi sebagai sikap percaya diri yang membanggakan. Tentu saja kita menyayangkan berbagai pihak yang berseberangan dengan keinginan Kominfo untuk sedikit saja mengendalikan RIM, demi melindungi konsumen dan industri lokal serta menjaga kesetaraan kebijakan terhadap seluruh operator
lokal.
Komentar
Posting Komentar