Tak diragukan lagi, industri telekomunikasi dan komunikasi (Telco) merupakan bagian penting dari perekonomian Indonesia. Tahun 2009 lalu total omset industri ini diperkirakan mencapai Rp. 82 triliun, dan outlook tahun 2010 naik sekitar 15% menjadi Rp. 95 triliun, belum termasuk industri gadget. Dengan nilai ekonomi yang mencapai lebih dari 9% belanja Pemerintah, tentunya peran industri pada pergerakan ekonomi nasional cukup signifikan. Industri ini juga terbukti berhasil menarik usaha kecil dalam jumlah yang sangat besar, diantaranya adalah para pedagang konter pulsa isi ulang yang diperkirakan mencapai lebih dari 230 ribu, serta Wartel atau Warnet yang mencapai lebih dari 75 ribu.
Investasi yang telah teralokasi di industri berkisar Rp. 210 triliun, yang tersebar pada 11 operator. Telkom masih tetap menjadi pemain dengan investasi terbesar, dengan kontribusi hampir 43 %. Setelah Telkom dengan Telkomsel sebagai anak usahanya, pemain besar berikutnya adalah Indosat dan XL Axiata. Dengan investasi tersebut, industri telah mempekerjakan lebih dari 42 ribu profesional, belum termasuk para tenaga outsourcing yang jumlahnya tidak kurang dari 25 ribu.
Bagaimana dengan kepemilikan terhadap industri ini? Inilah yang nampaknya perlu mendapat perhatian serius dari bangsa Indonesia, sekaligus menjadi motivasi dari tulisan ini. Sekitar 59 % kepemilikan industri berada di tangan asing, sedangkan bangsa Indonesia hanya mengendalikan sekitar 41 % saja. Dari jumlah itu pun, kepemilikan Pemerintah mencapai 26%, sehingga cukup memprihatinkan memang, kepemilikan masyarakat Indonesia terhadap industri hanya berkisar 15%. Bagaimana perbandingan lokal versus asing di masing-masing operator?. Kepemilikan lokal di Telkom sebesar 59.2%, kepemilikan lokal di Indosat 35%, kepemilikan lokal di XL kurang dari 1%, sementara Telkomsel 65% dimiliki Telkom dan sisanya asing. Sedangkan operator lain, selain Bakrie Telecom dan Sampoerna, nyaris kepemilikan dikuasai sepenuhnya oleh asing.
Kita patut bersyukur, karena sampai hari ini Pemerintah masih mempertahankan kepemilikan sahamnya di Telkom sebesar 52.47%, yang kontribusinya terhadap industri mencapai 22.5 %. Namun kita juga patut prihatin, karena Pemerintah terus mendorong masuknya modal asing untuk memperkuat industri ini.
Pada seminar MarkPlus-Conferen-2010, Dirut Telkomsel memperkirakan tahun 2010 merupakan tahun awal konsolidasi, dimana beberapa operator akan saling merger atau mungkin akuisisi, sebagai bagian strategi untuk memperkuat posisi perusahaan di pasar. Jika hal ini benar terjadi, dipastikan industri membutuhkan modal tambahan yang besar baik dalam bentuk munculnya investor baru, penawaran saham baru atau pun right issue.
Seperti disebutkan pada bagian awal, pertumbuhan industri ini dalam lima tahun terakhir cukup fantastis, dan diperkirakan akan terus naik progresif dalam beberapa tahun ke depan. Para analis yakin bahwa penetrasi layanan voice memang sudah mendekati angka mature, namun mereka juga meyakini tahun 2010 merupakan awal pertumbuhan mobile-internet yang luar biasa. Sharing Vision mencatat jumlah pengguna mobile-internet akhir tahun lalu mencapai 4.52 jt, dengan pertumbuhan fantastis sebesar 56.8%. Pertumbuhan teknologi dan pasar yang luar biasa ini tentunya membutuhkan investasi baru yang luar biasa pula. Diestimasikan belanja industri tahun 2010 mencapai lebih dari Rp. 22 triliun, belum termasuk kemungkinan tambahan investasi akibat proses konsolidasi seperti disebutkan di atas. Angka belanja tersebut akan terus naik di tahun-tahun berikutnya.
Pertanyaannya, apakah investasi industri di beberapa tahun mendatang tetap akan disiapkan oleh investor asing? Pemerintah yang telah mengendalikan 22.5 % industri, hampir dipastikan tidak lagi menambah jumlah penyertaan, adakah kemungkinan Pemerintah justru mengurangi jumlah penyertaannya di industri dan mengalihkannya kepada pihak asing? Ada beberapa alasan kenapa investasi industri lebih banyak diisi oleh pemodal asing:
Pertama, Pemerintah sedang giat mencari dan meningkatkan jumlah pemodal asing di Indonesia, sebagai bagian dari upaya untuk percepatan pertumbuhan ekonomi. Kedua, pada umumnya pemain industri telco adalah pemain global, dan industri ini sangat dipengaruhi oleh skala ekonomi, oleh karenanya, mereka memiliki kecenderungan ekspansi ke seluruh negeri. Ketiga, penguasaan teknologi hampir seluruhnya dimiliki oleh pihak asing, bahkan sampai teknologi gadget sekali pun, Indonesia tidak memiliki daya saing.
Terlepas dari alasan di atas, pertanyaan yang cukup mendasar adalah, tidak mampukah bangsa Indonesia menguasai industri yang kita banggakan ini? Pertanyaan ini tidak sepenuhnya dilandasi oleh semangat kebangsaan, namun juga beberapa alasan realistis berikut ini.
Pertama, kebutuhan telekomunikasi dan komunikasi merupakan kebutuhan dasar, atau sering disebut sebagai 'hajat hidup orang banyak'. Kedua, industri telco telah melibatkan usaha kecil yang sangat luas, sehingga industri ini sangat berpengaruh kepada keberlanjutan para pengusaha kecil dan pertumbuhan ekonomi rakyat.
Tentunya kita berharap, agar Pemerintah dalam hal ini diwakili oleh Kementrian Kominfo, BUMN dan KUKM dapat memberi perhatian yang memadai terhadap industri telco, paling tidak dengan mengupayakan beberapa hal seperti:
Pertama, mempertahankan (tidak mengurangi) penyertaan saham Pemerintah di Telkom dan Indosat. Kedua, memberi prioritas kepada investor lokal untuk pemenuhan kebutuhan investasi baru yang diajukan oleh operator existing. Ketiga, memberi prioritas kepada investor lokal untuk pemenangan proyek-proyek Pemerintah, seperti USO, lisensi, dan sejenisnya. Keempat, memproteksi industri pendukung (seperti BTS) khusus untuk investor lokal. Kelima, meningkatkan penguasaan teknologi melalui penguatan lembaga riset dan perusahaan manufaktur, seperti Inti, LEN dan sejenisnya.
Hampir semua pemimpin memiliki pimpinan yang lebih tinggi. Bolehlah dibilang, tidak ada pemimpin yang tidak memiliki pemimpin diatasnya. Karenanya, buku The 360 Leader karangan John C. Maxwell ini sejatinya adalah untuk semua pemimpin, bukan hanya untuk para manajer yang selalu berada di bawah para pemilik perusahaan. Pun demikian, penjelasan buku ini memang lebih difokuskan kepada para manajer, senior manajer dan para pemimpin sejenis dalam perusahaan yang berada di bawah kepemimpinan orang-orang di atasnya. Buku setebal 400 halaman ini mengawali penjelasanya dengan 7 mitos tentang memimpin dari bagian tengah. Berikutnya menjelaskan tantangan yang dihadapi pemimpin 360 Derajat. Pada bagian ketiga dijelaskan bagaimana memimpin ke atas. Bagian keempat dan kelima menjelaskan praktik memimpin ke samping dan ke bawah. Pada bagian akhir dijelaskan nilai-nilai pemimpin 360 Derajat. Prinsip utama dari kepemimpinan 360 derajat adalah bahwa pemimpin bukanlah posisi, melainkan pe...
Komentar
Posting Komentar