“Kompetisi bisnis bukanlah menang atau kalah, tapi memberikan nilai yang terus membaik kepada pelanggan dan semua stakeholder”. Inilah inspirasi terbaik yang saya rangkum dari buku Simon Sinek terbaru yang laris manis, The Infinite Game. Buku setebal 250 halaman, diterbitkan oleh Portfolio/Penguin USA, pada tahun 2019. Sebelum buku ini, Simon Sinek telah menerbitkan buku laris lain yang sangat popular, yaitu StartWith Why dan Leader Eat Last. Semua buku terbitanya relatif tipis, bergaya story telling dengan tampilan sangat sederhana, sedikit gambar maupun asesoris lain.
Menurut Simon, ada dua jenis permainan (game), yaitu finite dan infinite. Finite game adalah permainan yang
jelas pemainnya, jelas waktunya dan jelas aturannya, sehingga jelas pula siapa
yang kalah dan menang. Sedangkan infinite game adalah sebaliknya. Contoh
sederhana dari definisi ini adalah kompetisi Microsoft versus Apple. Microsoft
berjuang keras menciptakan Zune untuk mengalahkan iPod dari Apple, namun pada
saat yang sama Apple bukannya merespon upaya Microsoft, tapi justru berpikir
keras bagaimana bisa membantu guru mengajar dan murid belajar.
Berikut adalah perbandingan lebih jauh antara pola pikir finite dan infinite game:
- Finite berorientasi pada apa yang terbaik untuk kami. Infinite berorientasi pada apa yang terbaik untuk kita
- Dalam perjalanannya, Finite tidak menyukai kejutan atau perubahan. Infinite justru berharap dengan perubahan dan kejutan
- Pada akhir persaingan, pada Finite adalah menang atau kalah. Infinite terus bermain atau berhenti karena kehabisan sumber daya.
- Pemimpin Finite berusaha menampilkan performansi perusahaan sebagai indicator suksesnya. Infite mengembangkan nilai perusahaan dalam jangka panjang
- Tangung jawab bisnis menurut Finite game adalah (teori Friedman) untuk menghasilkan uang gun dipersembahkan kepada pemilik modal. Sedangkan menurut Infinite adalah menggunakan sumber dayanya untuk mewujudkan visi yang lebih besar dari dirinya sendiri, melindungi orang-orang dan tempat-tempat di mana ia beroperasi dan menghasilkan lebih banyak sumber daya sehingga ia dapat terus melakukan semua hal itu selama mungkin (meliputi tiga tujuan, yaitu mewujudkan visi, melindungi orang dan menghasilkan keuntungan).
Pemimpin yang hendak menggunakan pemikiran
Infinite Game, akan mengikuti lima hal berikut:
- · Advance a just cause
- · Build trusting teams
- · Study your worthy rivals
- · Prepare for existential flexibility
- · Demonstrate the courage to lead
Berikut adalah penjelasan dari kelimanya.
Simon mendefinisikan Just cause
sebagai visi spesifik tentang keadaan masa depan yang belum ada, keadaan masa
depan yang begitu menarik sehingga orang bersedia berkorban untuk membantu maju
menuju visi tersebut. Just cause berbeda dengan Why, karena Why datang dari
masa lalu, sedangkan Just cause adalah tentang masa depan.
Dalam setiap permainan, kita
selalu memiliki dua mata uang yang bisa dimainkan, yaitu Will and Resources.
Resources adalah sumber daya yang terlihat, seperti 5 M; man, money, material,
machine, methode. Sedangkan Will adalah sumber daya yang tidak terlihat,
seperti moral, motivasi, inspirasi, komitmen, keterlibatan dan seterusnya, yang
umumnya muncul dari kualitas kepemimpinan dan dari kekuatan Just cause.
Trusting teams adalah lingkungan,
dimana ketika kita bekerja di sana, kita merasa aman untuk menyatakan
kelemahan, aman untuk menyatakan kesalahan, aman untuk menyatakan kinerja yang
gagal, aman untuk minta bantuan. Semua tim merasa yakin, teman dan atasannya
akan siap membantu. Kepercayaan selalu mendapat tempat di atas kinerja. Cara
terbaik untuk mengelola kinerja dalam organisasi adalah menciptakan lingkungan
yang mana informasi dapat mengalir bebas, kesalahan bisa diterima dan bantuan mudah
ditawarkan atau diterima. Atau singkatnya, lingkungan yang mana orang merasa
aman di antara mereka sendiri. Dan ini adalah tanggung jawab pemimpin. Jadi,
kepercayaan (trusted) adalah lingkungan yang memiliki tiga sifat berikut:
- · Berinisiatif dan memecahkan masalah
- · Bersedia menerima kesalahan
- · Siap berkorban untuk teman, karena percaya mereka akan melakukan hal yang sama
Ethical Fading adalah suatu
kondisi dalam budaya yang memungkinkan orang untuk bertindak dengan cara yang
tidak etis demi kepentingan mereka sendiri, seringkali dengan mengorbankan
orang lain. Ehical fading pada umumnya berawal dari kecil, tumbuh membesar dan
akhirnya menjadi budaya. Dalam perusahaan, ethical fading seringkali terjadi, tatkala perusahaan selalu menilai hasil akhir, tanpa memandang caranya.
Perusahaan mengapresiasi pencapaian meski dengan cara curang, dan menghukum
kegagalan meski dilakukan dengan cara satria. Ethical fading seperti ini akan
mengirim pesan kepada seluruh karyawan, bahwa menghasilkan angka lebih penting daripada
etika.
Worthy rival adalah pemain lain
dalam permainan yang layak untuk dibandingkan. Kita memilih sendiri worthy
rival untuk menunjukkan kelemahan kita sendiri dan memaksa kita untuk terus melakukan
perbaikan dan bertumbuh. Pada kompetisi tradisional, kita dipaksa untuk menang,
sedangkan pada worthy rival, kita diminta untuk terus melakukan perbaikan diri.
Existential flexibility adalah kemampuan
untuk memulai disrupsi ekstrem terhadap model bisnis atau hal strategis untuk menjalankan
Just cause yang lebih efektif. Perusahaan memiliki keberanian untuk berubah
secara total meninggalkan status quo, demi keberlangsungan Just cause. Courage
to lead adalah kesediaan untuk mengambil risiko demi kebaikan masa depan yang
tidak diketahui.
Sebagaimana buku-buku
kepemimpinan yang lain, selalu ada quote menarik, demikian juga buku ini, sebagai
berikut:
- · One of the primary jobs of any leader is to make new leaders
- · Leaders are not responsible for the results, leaders are responsible for the people who are responsible for the results.
Komentar
Posting Komentar