Tersebutlah sebuah kisah fiksi.
Mbah Marijen adalah seorang kyai sepuh terpandang di gunung kulon. Beliau dikenal taat, menjadi panutan dan dihormati warganya.
Suatu ketika dimusim hujan, pemerintah mengumumkan akan ada banjir besar yang mungkin menenggelamkan gunung kulon. Seluruh warga diminta untuk mengungsi ke daerah yang aman.
Prediksi pemerintah benar terjadi, hujan besar menimpa gunung kulon. Hujan semakin membesar bahkan sampai malam tiba belum mereda. Seluruh warga gunung kulon telah diungsikan. Tinggallah mbah Marijen dan anak sulungnya.
"Pak, ini yang terakhir kalinya saya meminta kepada bapak. Ayo cepat tinggalkan gunung ini, saya akan menggendong bapak" pinta si anak. Jawaban Mbah Marijen tetap sama, "Tuhan yang akan menolong saya.". Si anak putus asa dan lari meninggalkan bapaknya menuju daerah pengungsian.
Hujan justru semakin besar, dan banjir telah menenggelamkan seluruh desa. Hanya mustaka masjid Nurul Iman yang masih terlihat, dan Mbah Marijen yang berpegangan di atasnya.
Datanglah holikopter SAR yang mendekati Mbah Merijan dan memintanya masuk holikopter, karena mustaka akan segera tenggelam. Jawaban si embah tetap sama. Pasukan SAR pulang tanpa hasil.
Bebapa menit kemudian mustaka Nurul Iman tenggelam bersama si embah. Nyawa si embah diangkat oleh Tuhan. Dan si embah masuk ke surga.
Di surga si embah sibuk mencari Tuhan dengan berbagai perasaan hati yang berkecamuk. Tuhan menemuinya dan berkata, "Hambaku yang taat, katakan isi hatimu, saya akan mendengar". Dengan segera Mbah Merijan mengadu, "wahai tuhanku, sungguh aku telah serahkan seluruh hidupku kepada-Mu. Dan Engkau telah berjanji akan menolong hamba-Mu yang ikhlas mengabdi. Tapi kenapa Engkau tidak menyelamatkan hamba dari banjir itu?".
Tuhan menjawab, "bukankah aku telah mengirim anakmu dan pasukan holikopter yang siap menyelamatkan dirimu? Kenapa engkau menolak penyelamatanku?".
Nice share kang. Terkadang kita tidak sadar kalau Tuhan itu sangat dekat, bahkan lebih dekat dari urat nadi kita.
BalasHapus